“Bagaimana?”
Aku menatapnya yang terbaring di
atas ranjang rumah sakit. Ia tersenyum menatap aku mengenakan jelana jins
dengan kaus oblong. Rambut jabrik dengan kumis tipis yang membuatku semakin
tampan.
“Kau tampan, nak,” pujinya. Aku mendekapnya
yang masih terbaring. Kemudian teringat sesuatu sepuluh tahun lalu.
16
September 2005
“Kau suka?”
Garis wajahnya semakin jelas. Kerutan
itu bertambah seiring jarum-jarum pada jam usang di rumah tua kami berdentang. Bola
mataku masuk jauh menatap sepasang bola mata hitam yang telah dipenuhi
lemak-lemak mata. Pandanganku turun melihat senyum di bibir tipisnya. Beralih
naik perhatikan rambut hitamnya yang tlah memutih. Usianya hampir enampuluh
tahun. Tak imbang memang bila ia menjadi ayah dari bocah kecil berusiatujuh tahun sepertiku. Tapi, itulah kenyataan. Aku
hadir dipenghujung penantiannya.
Kau tahu? Aku hampir saja frustasi
ingin memiliki anak. Tapi syukurlah! Akhirnya istriku bunting! Bayi perempuan
yang kunanti hadir! Itu kau!
Begitu ia bercerita sepanjang hari.
Sepanjang waktu. Hingga aku hafal benar kata-katanya. Hafal bagaimana tawanya
diakhir cerita. Hafal bagaimana bau rokok di badannya kala mmelukku setelah
kata-kata itu.
Aku tahu. Kenyataan begitu
mengecewakannya. Ia kehilangan apa yang telah lama bersamanya dan bahkan tak
berhasil memiliki apa yang ia harapkan.
“Hei! Jawab Cantik! Kau suka?”
Ia mengulang pertanyaannya. Aku
tersentak dari kenangan yang kembali terkenang. Kulihat boneka Barbie dalam
bungkusan kotak yang cantik. Aku tersenyum. Usiaku hari ini genap tujuh tahun.
“Ayah,” lembut aku meraih tubuhnya
yang sedari tadi berjongkok di hadapanku. Kupeluk erat tubuh tua itu. Ku usap
punggungnya pelan.
“Aku sangat suka. Aku sangat menyayangimu.
Sungguh,” Bisikku pelan kemudian menelan ludah. Entah sampai kapan aku harus
terperangkap dalam permainan gila ini.
Permainan gila ini membuat masa
kecilku memiliki keindahan tersendiri. Bagaimana tidak? Tak ada yang lebih
indah dari nama Cantik, gaun merah muda, dan kado boneka yang ayah perjuangkan
ditengah kemiskinan kami, bukan? Sayang, ayah hanya sibuk berjuang untuk bayi perempuan harapannya,
tanpa sadar bayi perempuan itu lahir sebagai bocah laki-laki.
***
Sepenggal kisah masa kecil yang
selalu membuatku tersenyum disaat mengingatnya. Dan takkan kutemui di zaman
ini, sebab ayah telah menyadari bahwa aku laki-laki. Aku tak tahu kapan ayah
menyadari itu. Yang kutahu, kado indah diusiaku berikutnya adalah nama Putra.
*Dimuat dalam buku "Indahnya Masa Kecilku"
0 komentar:
Posting Komentar