Aku
mengalihkan pandangan mataku kekiri, melihat lelaki yang berada di sampingku.
Rambut pendeknya yang rapi, hidung mancungnya, kulit putihnya, ia terlihat
begitu sempurna. Pantai ini, mentari
jingga itu. Kupandangi satu persatu saksi bisu satu bulan lalu saat cinta itu menjadi
halal, di sini.
“Sudah
sejam, kau tak berbicara apapun? Bukankah kau mengajakku ke sini karena ada
yang ingin dibicarakan?” Aku membuka pertanyaan.
Ia
masih saja diam. Masih melihat mentari jingga di sebrang sana. Kembali aku
mencoba membuka pembicaraan. “Sayang, semenarik itukah mentari jingga hingga
kau lebih memilih memandanginya?”
Kali
ini ia menatapku. Sejenak. Dalam hitungan detik ia kembali menatap mentari
jingga itu. Apa yang tengah mengganggu pikiran suamiku? Mengapa senja ini ia
berbeda? Tidak. Bukan hanya senja ini. Tetepi beberapa hari belakangan ini. Apa
karena ...Ahh, aku yakin suamiku tak begitu.
Ketika
bibir itu hendak terbuka lagi, ia telah memandangku hingga bibirku kelu. Sejenak
ia menatapku lekat. Aku melihat ada kegelisan dalam sepasang bola matanya.
Perlahan matanya berbinar. Suamiku, ia lelaki yang kuat, lalu mengapa ia ...bulir
itu jatuh. Aku meraih wajahnya. Ia mencegat tanganku yang hendak menghapus air
matanya. Ia genggam kedua tanganku lembut.
“Sayang,”
perkataannya terhenti. Jantungku berdetak tak karuan, seolah akan ada sesuatu
yang buruk menimpa rumah tanggaku.
“Aku
...menceraikanmu.” Mataku berkedip meneteskan bulir yang sedari tadi mendesak.
Dadaku sesak. Tubuhku lunglai. Bibirku terdiam membisu. Ia lepas tanganku, lalu
ia memeluk tubuhku erat. Aku masih kaku. Masih membisu. Bukankah, bila suami
berkata cerai itu pertanda kalau kami telah bercerai saat itu juga? Aku lepas
pelukan suamiku. Aku berlari pergi. Tanpa Tanya. Dan ia ...tak mengejarku.
Sepucuk
surat di atas tempat tidur menyambut diriku yang telah berderai air mata. Kubaca
surat itu.
Sayangku, istri yang amat sempurna
dan sangat ku cinta.
Maaf, bila kata perceraian harus
terucap dari bibir ini, seharusnya dari awal aku sadar aku tak pantas
mencintaimu, aku tak pantas untuk memilikimu, dan seharusnya aku tak
meminangmu, aku tak menikahimu, karena itu sama saja dengan menjembloskanmu
kedalam neraka dunia. Maafkan aku sayang, rasanya inilah cara membebaskanmu
dari neraka duniamu, aku hanyalah nerakamu, yang menyiksa hidupmu, merusak
hari-harimu dan hubunganmu dengan rekan-rekan di kantormu, aku hanya sampah
yang memenuhi kehidupanmu dan selayaknya dibuang. Lupakan aku sayang, carilah
lelaki sempurna yang setara denganmu, bukan aku yang bahkan penghasilanku saja
jauh dibawahmu, bukan aku yang bahkan untuk memeluk dan mencium keningmu saja
harus dengan menyuruhmu berjongkok, bukan aku.
Salam sayang untuk bidadariku
tersayang, yang kucintai karena Allah.
Pikiranku
melayang, teringat kejadian tiga hari lalu saat Handi mengantarkan makanan ke kantorku,
itu untuk yang kesekian kalinya ia dihina oleh rekan kerjaku. Terlebih Antoni
benar-benar keterlaluan waktu itu. Kurasa wajar Handi menceraikanku, mungkin
dia sudah amat lelah bersamaku dalam hinaan orang disekitarku. Ya Rabb ...apa
yang harus aku lakukan?
Aku
keluar dari apartemenku, kembali ke pantai yang tak jauh dari apartemen,
berharap ia masih disana. Ternyata tidak.
ia telah menghilang. Aku kembali ke apartemen, ku tulis sepucuk surat lalu
kutinggalkan di atas tempat tidur. Aku yakin Handi pasti kembali.
Aku mencintaimu karena, Allah
suamiku, Handi. Bila menurutmu cinta hanya tercipta untuk orang-orang sempurna,
maka kau juga sempurna di mataku. Tapi bila kau tak merasa sempurna, ketahuilah
Allah ciptakan cinta untuk orang yang memiliki kemampuan mencintai, kau telah
mampu mencintaiku, itu artinya kau layak mendapatkan cinta. Jodoh tak pernah peduli
akan keadaan, ia adalah ketetapan. Yakinlah sayang, aku tercipta untukmu,
kaulah surgaku. Maaf karena diriku, kau selalu terluka. Aku paham benar sakit
yang kau rasa dengan cacian mereka, yang terlontar berulangkali. Tapi tak kah
kau kasihan padaku? Aku akan kehilangan surga atas kepergianmu. Sayang, cinta
kita yang jalani, mereka yang mengataimu itu hanyalah mereka yang belum paham
benar tentang cinta. Mereka hanya belum bertemu dengan cinta seperti cinta yang
kita rasa, nanti mereka akan mengerti ketika waktu itu tiba.
Sayang, bersediakah kau rujuk
kembali denganku karena Allah? Sungguh aku tak ingin kehilangan surgaku. Aku
akan selalu menunggumu dalam senja.
Sudah
dua minggu berlalu. Sudah 14 senja aku menunggu. Ia tak datang. ia menghilang.
Pada senja ke-15 ...
“Maaf
aku baru bisa menemuimu, Riyana.” Aku terlonjak kaget mendengar suara yang tak
asing itu.
“Handi,
berniat menemuimu kemarin, tapi Antoni mencegatnya. Ia hampir mati dibunuh,
untunglah kala itu aku tak sengaja bertemu mereka dan aku berhasil
menyelamatkan Handi dari tangan Antoni, sekarang Handi kritis di rumah sakit.”
Tubuh
mungilku seolah dicambuk seribu kali. Sakit. begitu aku baru berdiri di dekatnya,
kain putih itu sudah hendak menutupi wajahnya. Bukan kematiannya yang
kutangisi, tapi kepergiannya dalam status yang masih bercerai denganku yang
buat air mata ini tak terhenti.
“Dia
masih suamimu, kemarin sebelum ia kritis ia menyampaikan padaku kalau ia ingin
rujuk denganmu.”
*Telah dimuat dalam buku kumpulan cerpen "Cinta di Tepi Danau"
0 komentar:
Posting Komentar