RSS

Ai Wasureta


Aku tahu ia adalah lelaki yang sangat pelupa. Acap kali ia lupa dimana menyimpan kunci apartemen, lupa membawa handuk ke kamar mandi, lupa membawa ponsel, lupa mematikan AC dan banyak lagi. Tapi, aku tak pernah menyangka, kalau kali ini, aku menjadi bagian dari lupa-nya.
Langkah kakiku terhenti. Sebenarnya aku masih harus melangkah 9 sampai 12 langkah lagi menuju pintu apartemnku.Mataku membulat memperhatikan dua orang yang baru saja keluar dari apartemen di depan mataku.
“Hinata-san? Mizuki Oneesan?” Nada suaraku terdengar kecewa. Aku tak percaya dengan apa yang dilihat oleh mataku, Mizuki oneesan, dokter berusia 28 tahun itu sudah kuanggap sebagai kakakku. Ia tinggal di apartemen yang sama denganku, hanya saja ia berada di lantai dua. Sementara Hinata ...dia kekasih halal-ku. Apartemen Hinata berada tepat di depan pintu apartemenku, kami memang belum satu apartemen karena ini kali pertama kami bertemu kembali di Kyoto setelah menikah. Usia pernikahan kami baru memasuki satu bulan dan kami belum pergi berbulan madu karena sehari setelah menikah Hinata harus kembali ke Kyoto atas tuntutan pekerjaannya, sementara aku harus menjaga ibuku yang sakit untuk beberapa waktu, hingga sekarang aku baru bisa menyusulnya ke Kyoto.
Aku ingin sekali melangkah mendekati mereka lalu mengomeli mereka, tetapi kakiku justru berbalik. Aku berlari. Pergi.
“Aira-chan!”Aku mendegar panggilan itu dengan sangat jelas. Tapi kakiku enggan berhenti. Aku menaiki anak tangga menuju atap apartemen. Air itu menyeruak keluar. Kupandangi langit hitam. Bintang malam ini tak seperti bintang malam itu.
“Semua tak seperti yang kau pikirkan, Aira-chan,” telingku mendengar suara itu tapi kepalaku enggan menoleh ke asal suara tersebut. Kepalaku lebih nyaman memandangi langit.
“Aku hanya berusaha menjaga Hinata, menjaga Hinata untukmu, hingga kau kembali. Itu saja.”
“Apa maksudmu?”  Kali ini aku menoleh, kemudian melanjutkan perkataanku sebelum jawaban keluar dari mulut Mizuki,“Alasanmu lucu sekali Mizuki Oneesan. Kau tahu, usia Hinata sudah 27 tahun, dia bukan anak usia lima tahun yang harus kau jaga!” Marahku pada Mizuki.
Mizuki tertunduk. Kemudian kembali memandang ke arahku, “Ini,” ia menyodorkan sebuah map biru kehadapanku. Kupandangi map biru itu kemudian melirik ke arah Mizuki. Tanganku mengambil map tersebut dari tangan Mizuki dan membukanya.
Dadaku sesak. Seketika pipiku terasa basah kembali. Kepalaku menggeleng. Aku menggigit bagian bibir bawahku kemudian menoleh ke arah Mizuki, berharap ia menjelaskan kalau apa yang kubaca hanyalah mimpi buruk.
“Aku tak sengaja bertemu dengannya seminggu yang lalu di Kamogawa. Saat itu ia baru saja dipecat karena lupa saat presentasi bisnis. Dan kau tahu, saat itu ia mengaku lupa jalan pulang dan bahkan ia tak mengenaliku. Kupikir dia bercanda, tapi aku teringat pada salah seorang pasiensku, kakek Yamamoto, aku sering menceritakannya padamu, bukan? Namun aku masih berharap dia tak seperti kakek Yamamoto, untuk itu aku langsung membawanya kerumah sakit. Tapi ternyata setelah diperiksa, hasilnya ialah apa yang kau pegang di tanganmu saat ini.”
“Tidak! Tidak mungkin! Alzeimer hanya terjadi pada lansia, Oneesan. Kakek Yamamoto sudah 72tahun, wajar saja bila dia terkena alzeimer, sementara Hinata masih berusia 27 tahun!”
“Yang kau katakan memang benar, tapi belakangan ini, ada beberapa pasiens seusia Hinata yang juga terkena Alzeimer, jadi bukan tidak mungkin Hinata terkena penyakit tersebut,” Mizuki menyeka air matanya dan terus menghadap lurus melihat pemandangan Kyoto di malam hari. Ia terlihat sangat serius.
“Dan,” ia melanjutkan perkataannya dan menoleh ke arahku. Aku menatap matanya menantikan kata selanjutnya, “Tadi ia bertanya padaku tentang siapa kau, Aira,” jantungku serasa berhenti berdegup. Lidahku kelu.
Mizuki merangkulku. kemudian menyeret tubuhku untuk tenggelam dalam dekapan hangatnya. Aku bergeming.“Tapi kau tenang saja, untuk saat ini, hanya daya ingat Hinata yang mengalami penurunan secara signifikan, sisanya, belum begitu mengalami penurunan yang begitu terlihat, oh ya, satu mukjizat Tuhan, dia masih bersikap seperti muslim, ternyata Alzeimer belum merusak agamanya, bahkan ia tak terlihat seperti pernah menjadi umat kristiani. Aku salut ketika melihatnya mendirikan sholat dan mengaji. Itu luar biasa,” senyumku terbit untuk sejenak, meski hatiku masih sakit tapi setidaknya Hinata tidak lupa bahwa dia adalah seorang muslim, meski mungkin ia lupa kalau dia adalah seorang mualaf.
“Apakah nanti dia akan seperti kakek Yamamoto?”Aku keluar dari dekapan Mizuki, memandanginya dengan mata merah. Ia mengangguk.
“Setelah ia masuk ke tahap yang lebih parah, ia akan mengalami penurunan emosi dan tidak tahu bagaimana cara melakukan aktifitas sehari-hari. Lalu, akan menjadi seperti balita, seperti kakek Yamamoto,” aku menelan ludah. Mengapa harus Hinata? Mengapa harus suamiku?
Mizuki memelukku lagi. Bulir-bulir air itu belum berhenti membasahi pipi. “Aira-chan, sekalipun dia tak mampu mengingatmu kembali, sekalipun dia tak bisa bersikap sebagaimana yang kau inginkan,  jangan pernah tinggalkan dia, karena semua ini juga bukan kemauannya. Bukan dia yang melupakanmu, tapi alzeimerlah yang membuatnya lupa akan dirimu.”
***
Aku mengetuk pintu apartemen Hinata dengan hati-hati. Sementara tangan kananku mengetuk pintu, tangan kiriku memegang sebungkus keripik nenas oleh-oleh yang kubawa dari kota asalku, Pekanbaru. Keripik nenas adalah makanan kesukaan Hinata, dulu setiap aku kembali ke Pekanbaru, ia selalu minta dibawakan keripik nenas. Tangan kananku berhenti mengetuk begitu pintu dibuka oleh Hinata. Ia memandangiku dengan wajah bingung.
Ohaiyo!” Sapaku riang dengan senyum lebar, bermaksud mencairkan kebingungan dari wajahnya.
“Kau?Ada apa mengetuk pintu apartemenku pagi-pagi begini?”Aku menghela napas panjang. Ia bahkan tak membalas senyum lebarku. Hanya memasang wajah datar.
“Kau benar-benar tak mengingatku? Lihat aku bawa apa?” Aku memperlihatkan kepadanya keripik nenas yang kubawa.
“Itu apa?”
“Ini keripik nenas, makanan khas dari Pekanbaru. Kau suka sekali ini. Kau mau coba?”Ia terdiam. Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung membuka bungkusan keripik nenas tersebut, kuambil satu dan kusodorkan kepadanya. Dengan wajah bingung ia mengambil keripik itu dari tanganku dan mencobanya.
“Enak,” katanya dengan senyum. Aku balik tersenyum, bila ia bisa merasakan rasa keripik itu kembali, akankah ia mampu merasakan rasa cinta ini kembali? Akankah ia bisa mengingatku kembali?
“Oh ya, kau lihat ini, siapa tahu dengan melihat ini kau bisa mengingatku kembali,” aku mengeluarkan dompetku dan memperlihtan kepadanya foto saat aku berdua dengannya usai acara akad nikah. Itu satu-satunya foto kami berdua yang aku punya, sisanya kutinggalkan di Indonesia.
Hinata melihat foto tersebut. Ia terdiam kemudian berkata, “Wah, kita pernah berfoto berdua? Apakah kita berteman dekat? Siapa namamu?” Tanyanya. Wajahnya polos. Hatiku sedikit kesal. Mengapa ia tak mengingatku sama sekali?
***
Aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Mataku memandang luas pohon-pohon maple yang mengelilingi danau Ooi River, ada yang telah menguning, ada yang berwarna merah dan juga jingga. Indah. Ooi River yang berada di tengah pegunungan Arashiyama ini masih sama seperi dulu, seperti dua tahun yang lalu. Mataku beralih melihat laki-laki itu. Ia tampak asing dengan tempat ini.
“Tempat ini indah sekali, ini tempat apa?” Pertanyaan itu membuat aku lagi-lagi harus menelan kecewa. Ini sudah hari kelima aku berusaha mengingatkannya tentang siapa aku dan siapa dia, tapi dia masih tidak bisa mengingat itu. Aku sudah membawanya ke tempat biasa kami menghitung bintang, ke tempat biasa kami menghabiskan secangkir kopi, ke tempat saat pertama kali kami bertemu di Kiyomizudera, dan sekarang aku mengajaknya ke tempat dimana ia menyatakan cintanya kepadaku untuk yang pertama kali, tapi ia juga tak mengingatku.
“Kau benar-benar tak mengingat tempat ini?”Aku menatapnya. Ia menggeleng dengan polos.
“Jadi kau masih tak mengingatku?” Mataku yang telah dipenuhi genangan air menatap matanya lekat. Aku tak berkedip untuk dapat menahan genangan air itu agar tak jatuh lagi.
Ia menatap mataku. Hatiku seketika merasakan sesuatu yang aneh. Tatapannya seperti ia telah mengenaliku. Sejenak kami terdiam, terhanyut membiarkan dua pasang bola mata itu saling bicara, hingga kemudian ia membuka mulutnya untuk mengungkapkan sesuatu. Aku menelan ludah. Entah mengapa aku merasa tak sabar mendengar apa yang akan ia katakan, namun juga merasa takut mendengar kembali perkataannya yang begitu polos mengatakan bahwa ia masih tak bisa mengingatku.
“Mengapa kau melakukan semua ini? Memangnya, seberapa penting kau hingga aku harus mengingatmu?” Mataku berkedip. Air itu akhirnya membasahi pipiku lagi. Aku tak mengeluarkan jawaban apapun, hanya berlalu meninggalkannya duduk di sisi perahu yang lain. Ia tidak mengingutiku, ia hanya mematung di tempat ia berdiri.
            Aku duduk termenung di bibir perahu memandang hampa pada danau. Terasa udara musim gugur menyelinap masuk menembus jaket tebalku. Aku menggosokkan kedua tanganku yang tak dibalut sarung tangan untuk menciptakan kehangatan kemudian memasukkan tanganku ke dalam kantung jaket. Tak sengaja aku merasakan ada sesuatu dalam kantung jaket sebelah kiriku. Aku ingat, itu adalah surat ucapan selamat hari jadi yang diberikan Hinata satu tahun lalu. Rencananya aku ingin memperlihatkan surat itu dan berharap setelah membacanya Hinata dapat mengingatku kembali. Tapi rasanya percuma, Hinata tak akan mengingatku lagi. Tidak akan.
Aku beranjak kemudian meminta paman yang membawa perahu itu agar membawa kami ketepi. Begitu sampai di tepi aku mengambil surat itu dari kantung jaketku, meremasnya kemudian membuangnya begitu saja. Berlalu pergi meninggalkan Hinata. Hinata tak memanggilku, itu artinya, aku benar-benar tak berarti untuknya.
***
Ketika hendak menaiki anak tangga menuju lantai empat, tak sengaja aku bertemu dengan Mizuki, ia tampak tengah terburu-buru. Akan tetapi ia sempat berhenti untuk menyapaku, “Aira-chan, kau dari mana saja? Mengapa sendirian? Tampaknya kau menangis? Dimana Hinata? Mengapa kau tak bersamanya?” Oh tidak, ia berhenti bukan sekedar untuk menyapaku, tapi untuk mengajukan sekelumit pertanyaan.
“Aku meninggalkannya di Ooi River. “
“Apa? Kau meninggalkannya sendirian di Ooin River? Itu tempat yang amat jauh dari sini?Ia bisa saja tersesat,” Mizuki tampak begitu khawatir.
“Aku tak peduli,oneesan, sudahlah. Lusa aku akankembali ke Indonesia dan mengatakan kepada ibuku kalau Hinata dan aku sudah tidak bisa bersama lagi. Bila kau peduli padanya, kau saja yang menjaganya. Aku tak sanggup menjaga orang yang tak bisa menjaga perasaanku.” Aku kemudian berlalu menaiki anak tangga kembali tanpa menantikan jawaban dari Mizuki.
***
Pukul 17.58 waktu Kyoto aku terbangun dari tidurku, terdengar suara pintu apartemenku diketuk. Aku beranjak dari atas ranjang dengan malas. Begitu aku membuka pintu apartemenku, tak ada siapa-siapa yang kulihat. Tapi begitu mataku melihat ke depan, kulihat ada tempelan kertas di pintu apartemen 407, tempelan kertas itu berisi tulisan, “Naik ke atap tepat jam 9 malam nanti. Aku menunggumu.–HD,” aku mencabut tulisan tersebut.
Aku melihat ke arah jam dinding. Jarum-jarum jam itu telah menunjukkan pukul 21.05 waktu Kyoto, separuh hatiku ingin sekali naik ke atap karena penasaran dengan isi dari kertas itu, akan tetapi separuhnya lagi tak ingin beranjak pergi karena takut kekecewaan itu harus kurasakan lagi. Aku terus saja memandangi jam, menghitung tiap detik yang berdetak.
Pukul setengah sepuluh, akhirnya diriku mengalah pada hati, aku memutuskan untuk naik keatap apartemen.
Sebuah tikar bambu terbentang dikelilingi oleh lilin-lilin yang telah tinggal setengah, mungkin akibat sudah terlalu lama menyala. Di tengah tikar itu ada lilin kecil, dua gelas kaca dengan sebotol shake, dua piring kosong disertai dua pasang pisau dan garpu, tapi tak ada makanan disana.
Happy anniversary yang ke-2 tahun Lativia Aira, dan selamat hari jadi pernikahan kita yang ke satu bulan,” aku memutar kepalaku menoleh ke sumber suara. Kulihat Hinata tersenyum dengan sepiring Okonomiyaki yang dihiasi lilin bertuliskan angka dua. Okonomiyaki, itu makanan kesukaanku, aku biasa menyebutnya ...Pizza Jepang.
“Kau?” aku benar-benar tak menyangka.Hinata? Melakukan hal yang sama dengan apa yang ia laukan setahun yang lalu saat merayakan anniversary kami yang ke-satu tahun? Bila dia bisa melakukan hal yang samaitu berarti ...dia mengingatku? Dia telah mengingatku!
“Ayo duduk dan kita nikmati malam ini,” aku mengikutinya, seperti terhipnotis aku tak melakukan aksi yang berlawanan sedikitpun, aku duduk di atas tikar yang dikelilingi lilin lilin kecil berwarna merah itu. Tersenyum melihat ia memotong okonomiyaki dan memberinya kepadaku.
 “Enak, kau semakin mahir saja memasak okonomiyaki,” pujiku. Hinata langsung terdiam.dengan gugup ia berkata, “Maaf, itu bukan buatanku, aku membelinya karena aku tidak tahu cara membuatnya.”
Seketika aku terdiam. Bagaimana bisa Hinata mengingat semua ini akan tetapi dia tak tahu cara membuat okonomiyaki?
“Maafkan aku, Aira-chan, jujur saja aku masih belum bisa mengingatmu dan mengingat semua hal yang pernah terjadi diantara kita dan ini semua aku tahu dari surat yang kau buang di Ooi River dan juga dari cerita Mizuki.”
“Jadi ...jadi kau melakukan ini bukan karena kau telah mengingatku?” Seharusnya aku memang tak menemui Hinata lagi.
Aku berdiri, bersiap untuk meninggalkan Hinata.“Bila kau memang tak bisa mengingatku, maka biarkanlah aku melupakanmu,” aku berbalik dan berjalan pergi. Kali ini Hinata tak membiarkan langkahku pergi, ia menahanku.
“Aira-chan!” ia berdiri di hadapanku. Langkahku terhenti.
“Ingatanku memang masih belum bisa mengingatmu, tapi hatiku masih bisa merasakanmu Aira-chan, bahkan sejak pertama kali aku melihatmu, hati ini memberikan isyarat berbeda. Hanya saja saat itu aku masih belum mampu mengertikan isyaratnya. Tahukah kau, sekalipun aku tak bisa mengingatmu, rasa itu masih tetap sama. Masih tetap milikmu. Jangan melupkan aku, aku janji akan belajar mengingat dengan baik. Aku akan lawan Alzeimer ini. Boku no soba ni ite kurenai?”
Aku teringat kata-kata oneesan. Kupandangi wajah ovel Hinata, sepasang mata besarnya menatap lekat mataku. Aku memeluknya,“Sekalipun kau tak mampu mengingatku kembali. Aku tak akan pernah meningglkanmu. Aku akan bersamamu menghadapi alzeimer itu, sayang,” bisikku dalam pelukannya.


Keterangan Kata
1.      San                                                      :  Panggilan untuk teman laki-laki
2.      Oneesan                                              : Panggilan untuk kakak perempuan bukan
kandung
3.      Chan                                                    : Dipakai pada anak kecil atau teman akrab
perempuan
4.      Ohaiyo                                                            : Ucapan selamat pagi
5.      Shake                                                  : Minuman bir Jepang
6.      Okonomiyaki                                      : Makanan Jepang berupa goring tepung dengan
kolditambah isi, seperti daging sapi, kerang,
cumi-cumi, atau udang yang diletakkan dibagian
atas sesuai dengan selera

7.      Boku no soba ni ite kurenai                : Maukah kau berada di sisiku?

0 komentar:

Posting Komentar