Awan
masih biru, langit tak menunjukkan sesuatu yang salah. Hari ini peraturannya
berangkat pakai motor, ada dua motor yang akan pergi. Seharusnya dengan jumlah
4 orang, dua laki-laki dan dua perempuan. Akantetapi, salah seorang teman
perempuan meminta izin untuk tidak bisa ikut, orang tuanya datang, begitu
alasannya. Sudah mencoba mencari pengganti, namun tak ada yang bisa, ada yang sakit, ada juga yang
sudah terlanjur membuat agenda lain.
Pukul delapan kurang, ponsel
bergetar. Teman setim yang berjanji akan menjemput telah menunggu di simpang,
begitu kabar yang kubaca melalui pesan singkatnya di line. Aku bergegas pamit
pada teman dan berjalan menuju simpang. Tak jauh, hanya berjarak tiga rumah
saja.
“Maaf lama,” ujarku, kemudian
bergegas menaiki motor dengan posisi duduk menyamping. Jujur, sebenarnya aku
tak suka dibonceng laki-laki, bukan mahrom. Tetapi apa daya, ini sebuah keharusan
untuk menempuh perjalanan jauh yang membahayakan, bukan? Satu lagi, dalam hati
ini tengah bergelayut rasa cemas. Bagaimana tidak? Kami akan pergi bertiga, dan
hanya aku yang perempuan, jarak yang akan ditempah pun bukan sejenggal dua
jengkal, sejam dua jam tetapi empat hingga lima jam.
“Iya, nggak apa. Oh ya, kita nggak
jadi pakai motor, kita pakai mobil bareng anak Teluk Meranti,” mataku membulat.
Senyum itu tak tertahan. Hati ini lega. Allah memang punya banyak cara.
Ia kemudian mengendarai motor. Kami
menuju SPBU di depan pasar pagi dekat kampus. Ia bilang, disana tempat ia dan
anak dessa Teluk Meranti berjanji untuk bertemu.
Begitu sampai di SPBU, aku melihat
Dhea. Ia teman sejurusanku, syukurlah ia ternyata juga ikut survey. Ia bersama
seorang laki-laki, Wawan, begitu nama yang laki-laki itu sampaikan ketika
berkenalan. Kami kemudian pergi menuju tempat dimana mobil tersebut dirental.
Masalah. Ternyata mobil yang akan
dirental belum benar-benar pasti. Kami kemudian dibawa oleh dua orang lelaki,
teman dari Wawan, menuju rumah dimana mobil tersebut seharusnya berada. Ahh,
semakin tidak jelas saja. Jarum jam tak menunggu kesiapan kami, jarum-jarum itu
berputar seenaknya. Wawan, kali ini kami harus memanggilnya abang. Ya, ternyata
ia angkatan 2011. Bang Wawan dan salah seorang lelaki asing itu sibuk menelpon.
Sementara Dhea, pergi meninggalkan kami untuk menjemput uang dari teman
setimnya. Aku dan Yono, teman setimku hanya bisa menunggu kepastian.
“Uda fix, jam 9 kita dijemput di depan hotel Mona,” ujar bang Wawan. Dua
laki-laki asing itu kemudian pamit. Kami mengucap syukur dan menunggu Dhea kembali
sembari bercerita.
Pukul Sembilan kurang beberapa
menit, kami masih menunggu di depan Hotel Mona, Dhea tengah menjemput dua teman
setimnya yang baru saja selesai masak. Ya, mereka masak untuk kebutuhan makan
selama perjalanan, keren bukan? Aku salut.
Mobil yang ditunggu-tunggu datang.
Si supir memberi kode, bang Wawan menghampirinya sementara aku dan Yono hanya melihat
dari jauh. Senyumku sudah mengembang saja. Sudah tidak sabar melihat tempat
Kuliah Kerja Nyata (Kukerta) ku nantinya.
Dengan senyum mengembang kami
menyambut bang Wawan yang menghampiri kami usai berbicara dengan supir.
Wajahnya datar. Kulihat mobil tersebut melaju pergi meninggalkan hotel Mona.
Ada apa? Mata kembali beralih pada sosok laki-laki berkaca mata dihadapanku.
“Bapaknya
nggak mau nganterin kita. Dia ngebatalin gitu aja setelah tau tujuan dan
situasi jalan tempat Kukerta kita,” senyum yang mengembang itu seketika
mengempis. Garis yang melengkung berganti datar. Jantungku entah masih berdetak
atau tidak, yang kutahu, hatiku serasa dihempas amat kuat.
“Lalu?”
tanyaku pelan.
Bang
Wawan mengambil posisi duduk di kiri Yono. Dari cara ia mendudukkan tubuhnya,
tampak ada amarah yang tertahan. Ada kecewa yang teramat dalam.
“Entahlah,
ini lagi nyari mobil lain. Kita lihat aja, kalau nggak dapat mobil sampai jam
sepuluh, kita nggak jadi pergi hari ini,” terangnya sembari mengotak-atik
ponsel lalu mencoba menghubungi seseorang.
Aku
dan Yono berdiskusi, jika tidak sekarang kapan lagi? Pikir kami bersama. Pergi
dengan motor saja tidak memungkinkan, apa lagi kami hanya berdua, salah seorang
teman laki-laki yang seharusnya ikut tiba-tiba meminta izin karena masuk rumah
sakit. Langit tak menunjukkan sesuatu yang salah, tetapi mengapa begini?
Dhea
datang bersama dua temannya. Maya dan Widia, aku tahu nama itu ketika kami
berkenalan. Kau tahu? Mereka datang membawa lauk-pauk yang telah dimasak dengan
rajutan senyum tak sabar akan pergi melihat tempat Kukerta pula. Dan seketika,
rajutan senyum itu enyah oleh berita yang jangankan untuk didengar, untuk
disampaikan saja rasanya tak kuasa.
Seorang
laki-laki dari tim mereka datang lagi dengan senyuman yang sama dan dengan cara
yang sama pula, senyum itu hilang.
Tidak
ada hari lain, mau tidak mau harus hari ini, itu prinsip kami. Dan memang
kondisinya seperti itu. Sulit mencari hari, setiap orang punya kesibukan yang
berbeda dan tak banyak yang peduli itu.
Masing-masing
dari kami asyik mengotak-atik ponsel. Menghubungi orang-orang yang dirasa bisa
memberi informasi mengenai rental mobil. Berlomba dengan waktu, mobil tak
kunjung didapatkan. Pukul sepuluh sebentar lagi. Bang Wawan bersama Zaid
kemudian bergerak pergi menuju tempat rental mobil yang bisa didatangi. Nihil.
Beberapa
menit setelahnya, aku mendapati mobil yang bisa dirental. Akantetapi, mobil
tersebut baru bisa diambil pukul dua belas. Kami berdiskusi. Mau tidak mau.
Kami memutuskan untuk mengambil mobil tersebut.
Sebelum
berangkat, kami makan bersama di kost Dhea. Jam dua belas kurang usai makan siang,
bang Wawan pergi menjemput temannya yang akan menjadi supir kemudian menjemput
mobil di Sidomulyo.
Kami
menanti penuh harap. Tiap mendengar klakson mobil, kami melihat keluar,
berpikir itu mobil yang akan kami tumpangi. Lucu.
Ponsel
berdering, bang Wawan memanggil dari sebrang sana.
“Mobil
diambil jam 12 harus balik jam 12, sementara kita nggak mungkin bisa balik jam
12, nggak mungkin ngurus semuanya selesai malamkan? Ambil dua hari juga dananya
besar, jadi gimana?” Tanya bang Wawan dari sebrang sana. Kami menyarankan untuk
lobby sewa satu setengah hari.
Syukurlah,
lobby kami diterima dengan tambahan
biaya setengah dari harga dan mobil itu harus dikembalikan besok sore tepat
pukul 6.
Menunggu
bang Wawan kembali dengan mobil rental, kami berdiskusi mengenai persiapan
untuk pergi. Apakah harus pulang dulu ke rumah masing-masing untuk
mempersiapkan baju dan lain-lain atau tidak, mengingat kami akan menginap
sementara persiapan yang ada saat ini hanya untuk pergi balik hari.
Kemalasan
yang didukung jarak tempuh untuk pulang membuat kami memutuskan pergi seadanya
tanpa membawa baju dan lainnya, maklum rumah kami rata-rata jauh. Sementara
itu, Maya justru memutuskan tidak ikut dikarenakan ada ujian besok pagi, dengan
berat hati dan sedikit sedih kami menyetujui keputusannya. Bagaimanapun juga
kuliah tetap nomor satu, meskipun pergi survey
ini adalah bagian dari kepentingan kuliah, tetapi kembali lagi pada skala
prioritas.
Pukul
dua kurang beberapa menit, terdengar klakson mobil. Di gerbang kami melihat bang
Wawan turun. Kami bersorak riang dengan senyuman amat lebar. Berangkat dengan
rute mengantar maya terlebih dahulu.
Di
dalam mobil, bang Wawan duduk di samping supir. Aku, Dhea dan Widia duduk di
urutan nomor dua, paling belakang duduk Zaid dan Yono. Perjalanan menuju
Kecamatan Teluk Meranti, kabupaten Pelalawan siap untuk dimulai!
Perjalanan
yang tak membosankan, kami asik bercerita. Entah apa yang diceritakan yang
pasti ada saja yang di bully dan
menciptakan gelak tawa. Dhea adalah korban yang acap sekali menjadi korban bully.
Jalanan
menuju kecamatan Teluk Meranti sebelumnya baik-baik saja hingga simpang Bunut.
Akantetapi setelah simpang tersebut, jalanan menjadi tidak baik-baik saja,
aspal jalan hanya beberapa kilometer saja dari sana, setelahnya jalanan pasir
berdebu. Hujan membuat jalan tanah liat itu menjadi lengket dan tidak kokoh.
Semakin
jauh, medan semakin sulit. Lewat dari simpang desa Kuala Panduk menuju Teluk Meranti,
jalanan bergelombang, lobang besar disertai lumpur. Hal inilah yang kemudian membuat supir kami
dipuja-puja, abang supir itu berhasil melewati medan-medan sulit dengan baik
meski disertai suara-suara riuh dari dalam mobil. Terlebih ketika kami hampir
slip.
“Jangan
dihindari, lewati saja,” pesan bapak-bapak yang kami tumpangi. Bapak itu kami dapati
ketika melewati simpang Bunut, ia meminta tumpangan menuju desa Patodaan,
kebetulan untuk menuju Teluk meranti, kami melewati desa Patodaan.
Kau
tahu? Semula kami ragu dengan bapak itu, bagaimana tidak? Mengaku tinggal
disana akantetapi tiap ditanya jalan, bapak itu selalu saja menjawab lurus-lurus
saja dan beberapa kali menjawab tidak tahu. Ketika turun, bapak itu memberi
petunjuk jalan, semula kurang meyakinkan karena ketika dicek pada google map, kami sudah keluar sangat
jauh dari rute yang seharusnya. Namun, ketika bertanya pada warga sekitar,
ternyata petunjuk jalannya benar, berarti google
map itu yang salah. Ya, kita memang tidak boleh berprasangka buruk dengan
orang lain. Maafkan kami yang telah berprasangka buruk ya, pak.
Malam
itu pukul tujuh. Begitu datang, kami langsung diajak makan malam disalah satu
rumah makan dekat lokasi acara. Ya, Kami datang diwaktu yang tepat, tengah ada
acara penutupan lomba MTQ di desa tersebut. Malam menunjukkan kalau desa
tersebut tak terlalu buruk, bahkan amat bagus dan diluar ekspektasi. Warga dan
perangkat desanya ramah.
Usai
makan, kami dihampiri oleh pak Lurah. Kami menceritakan maksud dan tujuan dari
kedatangan kami. Malu-malu kami juga mengakui kalau kami tidak memiliki
persiapan banyak untuk menginap, semua diluar rencana. Syukurlah, bapak
tersebut murah hati menawarkan kami penginapan. Ia pamit pergi untuk berbicara
dengan seorang ibu mengenai penginapan yang ditawarkan. Penginapan itu berada
tepat di depan rumah makan yang tengah kami tempati. Kami disuruh mengambil dua
kamar untuk menginap.
Semula
kami disuruh beristirahat saja, akantetapi kami menolak karena hendak
menghadiri acara penutupann MTQ tersebut. Luar biasa, anak-anak kecamatan Teluk
Meranti amat berbakat, pintar mengaji, lihai menari dan merdu bernasyid-marawis.
Aku salut melihatnya.
Pukul
dua belas kami masih di luar, hendak beristirahat tetapi penjaga penginapan
sedang tidak di tempat, entah bagaimana nasib menginap kami. Lurah yang semula
menyuruh mengambil kamar sudah pulang. Sepertinya akan tidur di mobil.
Allah
maha baik, ada saja jalan. Kami menginap juga di penginapan tersebut. Meski
dengan keragu-raguan, entah akan bayar atau tidak. Ahh, itu nanti saja dipikirkan, yang
terpenting adalah melepas penat menempuh perjalanan luar biasa.
***
Mentari
sebentar lagi akan terbit. Sayang jika tak melihat sunrise ditepian Bono. Aku, Dhea, Widia, Zaid dan Yono bergegas
keluar menuju anjungan untuk menikmati sunrise.
Sementara bang Wawan dan bang supir, kami biarkan tidur sebab tak tega
membangunkan mereka, tidur mereka amat lelap. Pasti mereka lelah sekali.
Bulatan
jingga itu perlahan naik. Biasnya tak hanya mewarnai langit putih biru, tapi
juga berefleksi pada air sungai. Aku merekam mentari itu dengan ponsel. Yang
lain sibuk berfoto. Mentari itu kian naik namun menghilang dibalik awan.
Seperti kebahagiaan kami yang menghilang ketika sampai di simpang Kuala Panduk.
Usai
sarapan dan survey di desa Teluk
Meranti, kami menuju desa Kuala Panduk. Tetapi tiba-tiba, di simpang desa,
mobil kami mati, bannya kempes. Kami
turun dan harus mendorong mobil. Dengan gelak tawa kami mendorong mobil. Mobil dibawa ke bengkel
terdekat untuk isi angin, bocor halus dan kemudian juga di tubles.
Entah
mengapa, kisah kelam itu bermula di sini. Kelam? Oh aku salah menamainya, kisah
seru yang tak terlupakan itu bermula di sini. Mobil tak bisa digas, sudah
didorong, hidup sebentar kemudian mati lagi.
Sampai
di depan rumah kepala desa, ada yang datang membantu kami, ia mengantarkan
salah seorang dari kami membeli air aki. Air aki sudah diisi, tetapi mobil tak
kunjung sembuh. Hingga akhirnya, kami
meminta tolong anak laki-laki pak Kades yang kira-kira berusia duabelas tahun
untuk menghantarkan Yono, ketua tim kami ke kantor kepala desa. Kami menunggu.
Sekitar pukul setengah dua belas, Yono kembali membawa berita yang hampir
serupa dengan desa Teluk Meranti, posko kami belum ada namun akan
diinformasikan melalui telpon. Kami pun kembali mendorong mobil untuk pulang.
Lagi, mobil itu mati saat ditanjakan. Keluar dari desa kuala panduk saja belum,
mobilnya sudah mati lagi. Bagaimana bisa sampai ke Pekanbaru jika begini?
Mobil
itu kemudian dibiarkan beberapa jam. Didinginkan, kata abang supir. Sudah
diperiksa sebelumnya, jika tidak karena aki maka dinamo atau pompa minyak,
tebakan para laki-laki. Kami beristirahat sejenak.
Oh
tidak, ketika beristirahat, Dhea dan Widia kembali mebahas seputar lipstik, aku
hanya bisa mendengar tanpa mengerti, sebab aku memang tidak suka memakai lipstik.
Wajah-wajah
stress terlihat usai penantian panjang, mobil yang didinginkan tetap saja tidak
mau menyala. Salah seorang warga desa membantu untuk mengantar ke bengkel.
Bengkel dinamo tidak ada di desa tersebut, harus melewati simpang Bunut untuk
dapat menjumpai bengkel dinamo. Kami diberi dua pilihan, mobil dibongkar di tempat
dengan berbagai resiko atau digerek hingga berjumpa bengkel di simpang Bunut?
Kau
tahu seberapa jauh simpang Bunut itu? Lebih dari 50 kilometer, kurang lebih
seperti dari Bangkinang ke Pekanbaru, namun dengan jalan yang berpasir,
berdebu, liat. Hanya sedikit aspal ketika sudah hampir dekat simpang.
Bang
Wawan menelpon si-empunya mobil, meminta solusi karena tentu kami tak mungkin
akan sampai di Pekanbaru pukul 18.00 ketika sudah begini. Akhirnya mobil kami
diderek. Biaya Derek 300ribu, uang yang tersisa di tangan bendahara gabungan
(aku dan Dhea) hanya 300ribu, bagaimana nanti membayar uang bengkel? Uang makan
dan uang supir?
Dhea
panik. Stress. Sementara aku masih berpikir semuanya akan baik-baik saja. Jam berapapun
kami pasti sampai ke Pekanbaru. Masalah uang, aku yakin teman-teman tim kami
yang tidak ikut survey akan mengerti
dan membantu. Tapi masalahnya kemana dicari uang tambahan sedang diantara kami
tidak ada yang memegang uang lebih?
Aku
menelpon salah seorang teman dari desaku, Mahatir namanya. Meminta tolong
padanya untuk menghanddle teman-teman
yang ada di Pekanbaru.
Bantuan
dana itu datang, kami mendapat kiriman 500ribu. Masalah berikutnya, bagaimana cara mengambil uang tersebut sedang
tidak ada ATM? Ahh sudahlah, bang supir memberi saran untuk tenang dan jangan
dipikirkan masalah uang tersebut.
Di
tengah kondisi tersebut kami masih bisa tertawa, saling bercandaa dan saling
umpan serak. Oh hai! Sungguh, ini tim
terkece dengan orang-orang umpan serak
dan baper dimana-mana, termasuk si
abang supir bergigi gingsul yang namanya masih belum bisa disebutkan karena
masih dalam tebakan, takut salah nama jadi baiknya dipanggil abang supir yang keren
saja.
Tali
gerek beberapa kali putus. Menempuh perjalanan jauh dengan digerek memang tak
mudah, terlebih ketika melewati jalanan berbukit.
Tak
sanggup menarik mobil berisi beban, kami semua terpaksa turun dari mobil dan
naik di atas mobil L-300 yang menggerek kami. Bukannya sedih, kami justru
senang karena ini kali pertamaa merasakan rasanya duduk di bak belakang mobil,
dilihat orang-orang sepanjang jalan, melewati jalanan berdebu hingga kami harus
menutup wajah dengan tisu.
Beberapa
tragedi terjadi selama diderek, umumnya ketika menaiki bukit, tali Derek putus
dan mobil kami bergerak mundur, mobil derek hampir saja menambrak mobil kami
tetapi untunglah dengan rem dan teriakaan “Reeem!!” mobil itu tak jadi saling
bertumbukan. Segalanya tak lepas dari kuasa Allah.
Sialnya,
mobil derek kami mendapat masalah baru, harus didorong baru bisa menyala. Ahh,
mengapa penyakit itu menular pada mobil yang menderek mobil kami? Entah sudah
berapa kali kami mendorong, tapi syukurlah kami tetap masih bisa tersenyum.
“Aku
tidak menyesal ikut survey, ini survey paling greget dan tak terlupakan!” Masing-masing kami menyetujui kalimat
itu.
Berdo’a
sepanjang jalan agar semua baik-baik saja, kurasa itu yang kami lakukan diam-diam
dalam gelak tawa. Jingga yang kulihat di timur kini tlah tiba di barat. Suasana
melihatnyapun berbeda. Kami menatap jingga terbenam dari bak mobil yang tengah
menderek mobil kami. Sesekali kami melihat abang supir di dalam mobil. Kasihan
sekali abang itu, sendirian. Pasti sangat sepi tidak ada teman bicara. Ahh,
semoga saja abang itu tidak kapok menjadi supir kami.
Senja
berganti kelam. Azan maghrib berkumandang, kami baru saja sampai di Sorek,
bengkel yang dituju ternyata tutup. Si pemilik bengkel telah ditelpon tetapi
nihil. Mobil kembali digerek. Sampai di depan bengkel berikutnya yang juga
tutup, akantetapi pemilik bengkel akan segera datang, katanya. Sembari
menunggu, kami bergegas menuju masjid di sebrang jalan yang tak jauh dari
tempat kami berhenti untuk menyelenggarakan sholat maghrib, mengadu pada Allah
dan memohon ampunan. Mungkin apa yang terjadi adalah cobaan, tapi bisa saja
hukuman sebab sebuah dosa.
Waktu
yang panjang. Disela-sela perbaikan, si abang supir ditanyai oleh abang
bengkel, “Kaukan angkatan paling tua, coba jawab! Menurutmu kalau kau melihat
cewek, apanya yang menarik?” Tanya abang terssebut dengan logat bataknya.
Sejenak
abang supir terdiam bingung-bingung malu, “Matanya,” jawab abang supir kami. Abang
bengkel menyalahkan. Abang supir ngotot kalau jawabannya benar karena jawaban
itu adalah hak setiap orang jadi wajar saja jika yang membuat menarik menurut
setiap orang itu berbeda-beda. Sepertinya ia menjawab benar-benar dari hati dan
serius.
“Salah
lah, yang menarik itukan tangan,” jawab tukang bengkel yang pecah dengan gelak
tawa kami. Abang supir menghela napas malu. Kami saling meledek. Ya begitulah
yang berlangsung sejak kemarin, apapun yang terjadi tetap saja kami asyik
bercanda tawa, tim asyik dan kece, rasanya kesialan ini justru berhikmah pada
kedekatan antara kami, sayang kami tak sedesa. Dan benar kata seseorang, beda
penjara dan istana itu hanya satu, yaitu tentang baimana kita bersyukur.
Mengingat
kalimat itu aku jadi teringat kalimat kedua yang paling aku ingat sepanjang
jalan, “Sungai itu dalamnya cuma sedada bebek” kata Zaid ketika kami melewati
jembatan. Kau tahu? Kata-kata itu berhasil membuat aku lupa kalau bebek itu
bukan batu.
Si
abang supir dan tukang bengkel pergi menuju rumah si abang tukang bengkel untuk
mengambil keperluan servis dan cas aki, sementara bang Wawan, Zaid dan mister
Barbie (julukan untuk Yono) sibuk melepaskan tali kawat dari mobil derek. Kami?
Tim ladies? Ahh jangan ditanya, kami
justru di dalam mobil membuat ladies
night, saling bertukar cerita seputar laki-laki, dan entah bagaimana bisa,
tiba-tiba cerita itu berganti menjadi perkara lipstik.
Tak
sengaja ketika cerita berganti menjadi perkara lipstik, Zaid berdiri di pintu
mobil dan mendengar.
“Ya
ampun, nggak selesai-selesai lipstik orang ni,” ledeknya kemudian duduk di bangku
depan mobi sementara bang Wawan duduk di bagian supir dan mister Barbie tidur
di belakang mobil. Ladies night
berganti ladies and gentleman night, haha. Kami memperluas percakapan
dan cerita sembari menunggu perbaikann mobil. Ada saja yang diceritakan, ada
saja tawa yang terpecahkan.
Sedihnya,
kami belum makan dari siang hingga pukul menunjukkan pukul sepuluh. Aku, Dhea
dan Widia hanya kasihan pada laki-laki terkhusus abang supir yang paginya hanya
sarapan mie.
“Kalian
lapar?” Tanya bang Wawan.
“Kami
sih bisa aja diatur, bang. Kami mikirin kaliannyo,” sahut Dhea.
“Ngapain
kalian mikirin kami, kami aja nggak mikirin kalian,” tukas Zaid tertawa,
memancing emosi yang berakhir tawa.
Entah
pukul berapa mobil itu selesai dibenarkan, yang kutahu usai mobil itu dibenarkan
kami membayar mobil itu dengan uang dari teman Widia. Uang itu dititipkan teman
Widia ketika kami melewati Patodaan jauh sebelum mobil kami rusak, niatannya
dititip untuk diberikan ke orang tua temannya tersebut. Namun, kami terpaksa
memakai uang tersebut atas izin teman Widia juga, karena kami tidak menemukan
ATM. Sebelumnya kami hampir frustasi masalah uang dan ATM ini, tapi entah
bagaimana bisa, ingatan akan uang titipan itu terlintas. Maka nikmat Tuhan yang
mana lagi yang engkau dustakan?
Kami
makan malam di Kerinci pukul setengah duabelasan. Nasi itu rasanya sudah tak
menggoda lagi meski lapar, mungkin karena sudah terlampau telat makan. Tetapi
aku tetap berusaha untuk menghabiskan makanan. Makan malam sembari melepas
penat, menempuh perjalanan yang melelahkan namun amat berkesan.
Pukul
duabelas malam kami tiba di Sekijang.
Sudah jatuh, baru berdiri kemudian tertimpa tangga dan jatuh lagi. Sepertinya
begitu. Ban mobil belakang sebelah kiri seketika bocor. Ternyata kisah ini
belum berakhir.
Abang
supir bernama Rolly, ya, kami sudah tahu namanya saat mengkonfirmasi di rumah
makan tadi. Ia mengeluarkan peralatan dongkrak, Widia menyenteri, Zaid mencoba
membuka ban serap, yang lain mencari penyangga. Malang teramat malang, ketika didongkrak, beban mobil tak seimbang
hingga jatuh dan membuat dongkrak itu penyet, tidak bisa digunakan lagi.
Kami
berjejer di pinggir jalan, melambaikan tangan dan meminta bantuan. Ada mobil
yang berhenti kemudian pergi karena kami kejar. Mungkin mobil tersebut takut dan banyak mobil yang
hanya lewat. Tentu saja, ini jalan
lintas, sudah pukul duabelas lewat, mana ada yang berani berhenti menolong,
bukankah zaman sekarang orang lebih baik tidak menolong dari pada kena lolong?
Dalam
hati aku berdo’a, “Ya Allah, bukakanlah hati salah seorang pengemudi yang lewat
agar berkenan menolong kami. Sungguh hanya kepadamu kami memohon pertolongan ya
Allah,” gumamku dalam hati.
Aku
selalu percaya kekuatan do’a. Aku selalu yakin dengan kejaiban hidup. Sebab itu
aku masih bisa berkata semuanya baik-baik saja ketika dunia telah menentang dan
ngotot berkata bahwa ia tak sedang baik-baik saja. Kau tahu? Mobil L300 yang
baru saja melewati kami seketika berhenti, mobil itu mutar balik dan
pengemudinya turun menolong kami. Allah, aku mencintaimu, sungguh.
Semua
kembali baik-baik saja meski mobil kami harus didorong lagi agar bisa
menyala. Entah sudah berapa kali kami mendorong
mobil, yang kutahu, entah mengapa hati ini justru ingin waktu berputar pelan.
Dan ternyata tak hanya aku yang menginginkan itu.
Pukul
setengah dua kami sampai di Pekanbaru, dan pukul dua kurang aku, Dhea dan Widia
sampai di rumah Widia. Kami menginap disana hingga pagi sebab kembali ke kost
sangat tidak mungkin.
Cerita
ini tak sepenuhnya berakhir, sebab pagi hari kudengar ketika hendak
mengembalikan mobil, ban kanan belakang mobil bocor dan harus ditambal. Luar
biasa. Dan bagi kami, satu hal lagi yang
luar biasa, abang Rolly, supir expert kami yang hingga akhir cerita belum
juga turun reputasinya. Supir terbaik yang semoga saja tak jera pergi bersama
kami. Terimakasih Kecamatan Teluk Meranti, abang supir dan Tim kece terbaper
untuk empatpuluh dua jamnya.
*Ada
masa dimana janji untuk tak akan lupa teringkari, jadi sebelum teringkari izinkanlah kutulis sepenggaal cerita
pengingat kisah kita. Detail kebersamaan itu kubiarkan menjadi rahasia rasa
diantara kita saja, Tim (Bang Rolly, Bang Wawan, Zaid, Yono, Widia, Dhea,
Fira).
(30
Mei - 1 Juni 2016)