RSS

Novel Terbaru!

Assalamu’alaikum wr, wb.

Apa kabar sahabat??
Lama tak muncul di blog, Ratifa Mazari hadir dengan novel terbarunya nih!

Tau nggak sih? Ahh pasti nggak tau, kan belum dibilang :D
Novel ini merupakan novel hasil tantangan menulis Arsha Teen, yang harus selesai dalam durasi 1 bulan loh! Dibuat penuh perjuangan karena ditulis semasa Kukerta di desa yang listriknya hanya menyala dari pukul 6 sore-12 malam menggunakan laptop yang hanya menyala jika dicash :,D

Yuk di Order Novelnya!!

Judul : Sahabat dari Tuhan
Penulis : Ratifa Mazari
Tebal : 75 hal.
ISBN : 978-602-6436-23-8
Harga : Rp. 30.000,- (harga umum)

Pemesanan :
Sms ke nomor 0816379719 ketik SdT-NAMA LENGKAP-ALAMAT LENGKAP- NO. HP-JUMLAH PESANAN Bisa juga melalui BBM 546644f7.

Qirani Malaika, gadis cilik periang, cerewet, dan cerdas. Siapa sangka gadis cilik ini tak mempunyai teman jika berada di rumah? >>Ya, komplek perumahan yang ia tinggali jarang terlihat anak kecilnya. Ia melampiaskan kesepian melalui tulisan di buku diary. Diam-diam ia ingin menjadi penulis novel seperti Umi.
Sakha, anak laki-laki yang hobi melukis menjadi pendiam sejak sang ibu meninggal. Ia tinggal hanya berdua dengan ayahnya. Suatu hari ayahnya membeli rumah berhadapan dengan rumah Qirani.
Qirani dan Sakha memiliki persamaan yakni sama-sama kesepian. Akhirnya mereka bersahabat. Namun sayang persahabatan mereka harus terpisah karena keadaan.

Pemesanan :
Sms ke nomor 0816379719 ketik SdT-NAMA LENGKAP-ALAMAT LENGKAP- NO. HP-JUMLAH PESANAN Bisa juga melalui BBM 546644f7.

Join di ratifamazari.blogspot.com dan Fanspage : Ratifa Mazari untuk akses karya-karya terupdate Ratifa Mazari ya!

Ig : @26ratifamazari

42 Hours





            Awan masih biru, langit tak menunjukkan sesuatu yang salah. Hari ini peraturannya berangkat pakai motor, ada dua motor yang akan pergi. Seharusnya dengan jumlah 4 orang, dua laki-laki dan dua perempuan. Akantetapi, salah seorang teman perempuan meminta izin untuk tidak bisa ikut, orang tuanya datang, begitu alasannya. Sudah mencoba mencari pengganti, namun tak  ada yang bisa, ada yang sakit, ada juga yang sudah terlanjur membuat agenda lain.
            Pukul delapan kurang, ponsel bergetar. Teman setim yang berjanji akan menjemput telah menunggu di simpang, begitu kabar yang kubaca melalui pesan singkatnya di line. Aku bergegas pamit pada teman dan berjalan menuju simpang. Tak jauh, hanya berjarak tiga rumah saja.
            “Maaf lama,” ujarku, kemudian bergegas menaiki motor dengan posisi duduk menyamping. Jujur, sebenarnya aku tak suka dibonceng laki-laki, bukan mahrom. Tetapi apa daya, ini sebuah keharusan untuk menempuh perjalanan jauh yang membahayakan, bukan? Satu lagi, dalam hati ini tengah bergelayut rasa cemas. Bagaimana tidak? Kami akan pergi bertiga, dan hanya aku yang perempuan, jarak yang akan ditempah pun bukan sejenggal dua jengkal, sejam dua jam tetapi empat hingga lima jam.
            “Iya, nggak apa. Oh ya, kita nggak jadi pakai motor, kita pakai mobil bareng anak Teluk Meranti,” mataku membulat. Senyum itu tak tertahan. Hati ini lega. Allah memang punya banyak cara.
            Ia kemudian mengendarai motor. Kami menuju SPBU di depan pasar pagi dekat kampus. Ia bilang, disana tempat ia dan anak dessa Teluk Meranti berjanji untuk bertemu.
            Begitu sampai di SPBU, aku melihat Dhea. Ia teman sejurusanku, syukurlah ia ternyata juga ikut survey. Ia bersama seorang laki-laki, Wawan, begitu nama yang laki-laki itu sampaikan ketika berkenalan. Kami kemudian pergi menuju tempat dimana mobil tersebut dirental.
            Masalah. Ternyata mobil yang akan dirental belum benar-benar pasti. Kami kemudian dibawa oleh dua orang lelaki, teman dari Wawan, menuju rumah dimana mobil tersebut seharusnya berada. Ahh, semakin tidak jelas saja. Jarum jam tak menunggu kesiapan kami, jarum-jarum itu berputar seenaknya. Wawan, kali ini kami harus memanggilnya abang. Ya, ternyata ia angkatan 2011. Bang Wawan dan salah seorang lelaki asing itu sibuk menelpon. Sementara Dhea, pergi meninggalkan kami untuk menjemput uang dari teman setimnya. Aku dan Yono, teman setimku hanya bisa menunggu kepastian.
            “Uda fix, jam 9 kita dijemput di depan hotel Mona,” ujar bang Wawan. Dua laki-laki asing itu kemudian pamit. Kami mengucap syukur dan menunggu Dhea kembali sembari bercerita.
            Pukul Sembilan kurang beberapa menit, kami masih menunggu di depan Hotel Mona, Dhea tengah menjemput dua teman setimnya yang baru saja selesai masak. Ya, mereka masak untuk kebutuhan makan selama perjalanan, keren bukan? Aku salut.
            Mobil yang ditunggu-tunggu datang. Si supir memberi kode, bang Wawan menghampirinya sementara aku dan Yono hanya melihat dari jauh. Senyumku sudah mengembang saja. Sudah tidak sabar melihat tempat Kuliah Kerja Nyata (Kukerta) ku nantinya.
            Dengan senyum mengembang kami menyambut bang Wawan yang menghampiri kami usai berbicara dengan supir. Wajahnya datar. Kulihat mobil tersebut melaju pergi meninggalkan hotel Mona. Ada apa? Mata kembali beralih pada sosok laki-laki berkaca mata dihadapanku.
“Bapaknya nggak mau nganterin kita. Dia ngebatalin gitu aja setelah tau tujuan dan situasi jalan tempat Kukerta kita,” senyum yang mengembang itu seketika mengempis. Garis yang melengkung berganti datar. Jantungku entah masih berdetak atau tidak, yang kutahu, hatiku serasa dihempas amat kuat.
“Lalu?” tanyaku pelan.
Bang Wawan mengambil posisi duduk di kiri Yono. Dari cara ia mendudukkan tubuhnya, tampak ada amarah yang tertahan. Ada kecewa yang teramat dalam.
“Entahlah, ini lagi nyari mobil lain. Kita lihat aja, kalau nggak dapat mobil sampai jam sepuluh, kita nggak jadi pergi hari ini,” terangnya sembari mengotak-atik ponsel lalu mencoba menghubungi seseorang.
Aku dan Yono berdiskusi, jika tidak sekarang kapan lagi? Pikir kami bersama. Pergi dengan motor saja tidak memungkinkan, apa lagi kami hanya berdua, salah seorang teman laki-laki yang seharusnya ikut tiba-tiba meminta izin karena masuk rumah sakit. Langit tak menunjukkan sesuatu yang salah, tetapi mengapa begini?
Dhea datang bersama dua temannya. Maya dan Widia, aku tahu nama itu ketika kami berkenalan. Kau tahu? Mereka datang membawa lauk-pauk yang telah dimasak dengan rajutan senyum tak sabar akan pergi melihat tempat Kukerta pula. Dan seketika, rajutan senyum itu enyah oleh berita yang jangankan untuk didengar, untuk disampaikan saja rasanya tak kuasa.
Seorang laki-laki dari tim mereka datang lagi dengan senyuman yang sama dan dengan cara yang sama pula, senyum itu hilang.
Tidak ada hari lain, mau tidak mau harus hari ini, itu prinsip kami. Dan memang kondisinya seperti itu. Sulit mencari hari, setiap orang punya kesibukan yang berbeda dan tak banyak yang peduli itu.
Masing-masing dari kami asyik mengotak-atik ponsel. Menghubungi orang-orang yang dirasa bisa memberi informasi mengenai rental mobil. Berlomba dengan waktu, mobil tak kunjung didapatkan. Pukul sepuluh sebentar lagi. Bang Wawan bersama Zaid kemudian bergerak pergi menuju tempat rental mobil yang bisa didatangi. Nihil.
Beberapa menit setelahnya, aku mendapati mobil yang bisa dirental. Akantetapi, mobil tersebut baru bisa diambil pukul dua belas. Kami berdiskusi. Mau tidak mau. Kami memutuskan untuk mengambil mobil tersebut.
Sebelum berangkat, kami makan bersama di kost Dhea. Jam dua belas kurang usai makan siang, bang Wawan pergi menjemput temannya yang akan menjadi supir kemudian menjemput mobil di Sidomulyo.
Kami menanti penuh harap. Tiap mendengar klakson mobil, kami melihat keluar, berpikir itu mobil yang akan kami tumpangi. Lucu.
Ponsel berdering, bang Wawan memanggil dari sebrang sana.
“Mobil diambil jam 12 harus balik jam 12, sementara kita nggak mungkin bisa balik jam 12, nggak mungkin ngurus semuanya selesai malamkan? Ambil dua hari juga dananya besar, jadi gimana?” Tanya bang Wawan dari sebrang sana. Kami menyarankan untuk lobby sewa satu setengah hari.
Syukurlah, lobby kami diterima dengan tambahan biaya setengah dari harga dan mobil itu harus dikembalikan besok sore tepat pukul 6.
Menunggu bang Wawan kembali dengan mobil rental, kami berdiskusi mengenai persiapan untuk pergi. Apakah harus pulang dulu ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan baju dan lain-lain atau tidak, mengingat kami akan menginap sementara persiapan yang ada saat ini hanya untuk pergi balik hari.
Kemalasan yang didukung jarak tempuh untuk pulang membuat kami memutuskan pergi seadanya tanpa membawa baju dan lainnya, maklum rumah kami rata-rata jauh. Sementara itu, Maya justru memutuskan tidak ikut dikarenakan ada ujian besok pagi, dengan berat hati dan sedikit sedih kami menyetujui keputusannya. Bagaimanapun juga kuliah tetap nomor satu, meskipun pergi survey ini adalah bagian dari kepentingan kuliah, tetapi kembali lagi pada skala prioritas.
Pukul dua kurang beberapa menit, terdengar klakson mobil. Di gerbang kami melihat bang Wawan turun. Kami bersorak riang dengan senyuman amat lebar. Berangkat dengan rute mengantar maya terlebih dahulu.
Di dalam mobil, bang Wawan duduk di samping supir. Aku, Dhea dan Widia duduk di urutan nomor dua, paling belakang duduk Zaid dan Yono. Perjalanan menuju Kecamatan Teluk Meranti, kabupaten Pelalawan siap untuk dimulai!
Perjalanan yang tak membosankan, kami asik bercerita. Entah apa yang diceritakan yang pasti ada saja yang di bully dan menciptakan gelak tawa. Dhea adalah korban yang acap sekali menjadi korban bully.
Jalanan menuju kecamatan Teluk Meranti sebelumnya baik-baik saja hingga simpang Bunut. Akantetapi setelah simpang tersebut, jalanan menjadi tidak baik-baik saja, aspal jalan hanya beberapa kilometer saja dari sana, setelahnya jalanan pasir berdebu. Hujan membuat jalan tanah liat itu menjadi lengket dan tidak kokoh.
Semakin jauh, medan semakin sulit. Lewat dari simpang desa Kuala Panduk menuju Teluk Meranti, jalanan bergelombang, lobang besar disertai lumpur.  Hal inilah yang kemudian membuat supir kami dipuja-puja, abang supir itu berhasil melewati medan-medan sulit dengan baik meski disertai suara-suara riuh dari dalam mobil. Terlebih ketika kami hampir slip.
“Jangan dihindari, lewati saja,” pesan bapak-bapak yang kami tumpangi. Bapak itu kami dapati ketika melewati simpang Bunut, ia meminta tumpangan menuju desa Patodaan, kebetulan untuk menuju Teluk meranti, kami melewati desa Patodaan.
Kau tahu? Semula kami ragu dengan bapak itu, bagaimana tidak? Mengaku tinggal disana akantetapi tiap ditanya jalan, bapak itu selalu saja menjawab lurus-lurus saja dan beberapa kali menjawab tidak tahu. Ketika turun, bapak itu memberi petunjuk jalan, semula kurang meyakinkan karena ketika dicek pada google map, kami sudah keluar sangat jauh dari rute yang seharusnya. Namun, ketika bertanya pada warga sekitar, ternyata petunjuk jalannya benar, berarti google map itu yang salah. Ya, kita memang tidak boleh berprasangka buruk dengan orang lain. Maafkan kami yang telah berprasangka buruk ya, pak.  
Malam itu pukul tujuh. Begitu datang, kami langsung diajak makan malam disalah satu rumah makan dekat lokasi acara. Ya, Kami datang diwaktu yang tepat, tengah ada acara penutupan lomba MTQ di desa tersebut. Malam menunjukkan kalau desa tersebut tak terlalu buruk, bahkan amat bagus dan diluar ekspektasi. Warga dan perangkat desanya ramah.
Usai makan, kami dihampiri oleh pak Lurah. Kami menceritakan maksud dan tujuan dari kedatangan kami. Malu-malu kami juga mengakui kalau kami tidak memiliki persiapan banyak untuk menginap, semua diluar rencana. Syukurlah, bapak tersebut murah hati menawarkan kami penginapan. Ia pamit pergi untuk berbicara dengan seorang ibu mengenai penginapan yang ditawarkan. Penginapan itu berada tepat di depan rumah makan yang tengah kami tempati. Kami disuruh mengambil dua kamar untuk menginap.
Semula kami disuruh beristirahat saja, akantetapi kami menolak karena hendak menghadiri acara penutupann MTQ tersebut. Luar biasa, anak-anak kecamatan Teluk Meranti amat berbakat, pintar mengaji, lihai menari dan merdu bernasyid-marawis. Aku salut melihatnya.
Pukul dua belas kami masih di luar, hendak beristirahat tetapi penjaga penginapan sedang tidak di tempat, entah bagaimana nasib menginap kami. Lurah yang semula menyuruh mengambil kamar sudah pulang. Sepertinya akan tidur di mobil. 
Allah maha baik, ada saja jalan. Kami menginap juga di penginapan tersebut. Meski dengan keragu-raguan, entah akan bayar atau tidak.  Ahh, itu nanti saja dipikirkan, yang terpenting adalah melepas penat menempuh perjalanan luar biasa.
***
Mentari sebentar lagi akan terbit. Sayang jika tak melihat sunrise ditepian Bono. Aku, Dhea, Widia, Zaid dan Yono bergegas keluar menuju anjungan untuk menikmati sunrise. Sementara bang Wawan dan bang supir, kami biarkan tidur sebab tak tega membangunkan mereka, tidur mereka amat lelap. Pasti mereka lelah sekali.
Bulatan jingga itu perlahan naik. Biasnya tak hanya mewarnai langit putih biru, tapi juga berefleksi pada air sungai. Aku merekam mentari itu dengan ponsel. Yang lain sibuk berfoto. Mentari itu kian naik namun menghilang dibalik awan. Seperti kebahagiaan kami yang menghilang ketika sampai di simpang Kuala Panduk.
Usai sarapan dan survey di desa Teluk Meranti, kami menuju desa Kuala Panduk. Tetapi tiba-tiba, di simpang desa, mobil kami mati, bannya kempes.  Kami turun dan harus mendorong mobil. Dengan gelak tawa kami  mendorong mobil. Mobil dibawa ke bengkel terdekat untuk isi angin, bocor halus dan kemudian juga di tubles.
Entah mengapa, kisah kelam itu bermula di sini. Kelam? Oh aku salah menamainya, kisah seru yang tak terlupakan itu bermula di sini. Mobil tak bisa digas, sudah didorong, hidup sebentar kemudian mati lagi.
Sampai di depan rumah kepala desa, ada yang datang membantu kami, ia mengantarkan salah seorang dari kami membeli air aki. Air aki sudah diisi, tetapi mobil tak kunjung sembuh.  Hingga akhirnya, kami meminta tolong anak laki-laki pak Kades yang kira-kira berusia duabelas tahun untuk menghantarkan Yono, ketua tim kami ke kantor kepala desa. Kami menunggu. Sekitar pukul setengah dua belas, Yono kembali membawa berita yang hampir serupa dengan desa Teluk Meranti, posko kami belum ada namun akan diinformasikan melalui telpon. Kami pun kembali mendorong mobil untuk pulang. Lagi, mobil itu mati saat ditanjakan. Keluar dari desa kuala panduk saja belum, mobilnya sudah mati lagi. Bagaimana bisa sampai ke Pekanbaru jika begini?
Mobil itu kemudian dibiarkan beberapa jam. Didinginkan, kata abang supir. Sudah diperiksa sebelumnya, jika tidak karena aki maka dinamo atau pompa minyak, tebakan para laki-laki. Kami beristirahat sejenak.
Oh tidak, ketika beristirahat, Dhea dan Widia kembali mebahas seputar lipstik, aku hanya bisa mendengar tanpa mengerti, sebab aku memang tidak suka memakai lipstik.
Wajah-wajah stress terlihat usai penantian panjang, mobil yang didinginkan tetap saja tidak mau menyala. Salah seorang warga desa membantu untuk mengantar ke bengkel. Bengkel dinamo tidak ada di desa tersebut, harus melewati simpang Bunut untuk dapat menjumpai bengkel dinamo. Kami diberi dua pilihan, mobil dibongkar di tempat dengan berbagai resiko atau digerek hingga berjumpa bengkel di simpang Bunut?
Kau tahu seberapa jauh simpang Bunut itu? Lebih dari 50 kilometer, kurang lebih seperti dari Bangkinang ke Pekanbaru, namun dengan jalan yang berpasir, berdebu, liat. Hanya sedikit aspal ketika sudah hampir dekat simpang.
Bang Wawan menelpon si-empunya mobil, meminta solusi karena tentu kami tak mungkin akan sampai di Pekanbaru pukul 18.00 ketika sudah begini. Akhirnya mobil kami diderek. Biaya Derek 300ribu, uang yang tersisa di tangan bendahara gabungan (aku dan Dhea) hanya 300ribu, bagaimana nanti membayar uang bengkel? Uang makan dan uang supir?
Dhea panik. Stress. Sementara aku masih berpikir semuanya akan baik-baik saja. Jam berapapun kami pasti sampai ke Pekanbaru. Masalah uang, aku yakin teman-teman tim kami yang tidak ikut survey akan mengerti dan membantu. Tapi masalahnya kemana dicari uang tambahan sedang diantara kami tidak ada yang memegang uang lebih?
Aku menelpon salah seorang teman dari desaku, Mahatir namanya. Meminta tolong padanya untuk menghanddle teman-teman yang ada di Pekanbaru.
Bantuan dana itu datang, kami mendapat kiriman 500ribu. Masalah berikutnya,  bagaimana cara mengambil uang tersebut sedang tidak ada ATM? Ahh sudahlah, bang supir memberi saran untuk tenang dan jangan dipikirkan masalah uang tersebut.
Di tengah kondisi tersebut kami masih bisa tertawa, saling bercandaa dan saling umpan serak. Oh hai! Sungguh, ini tim terkece dengan orang-orang umpan serak dan baper dimana-mana, termasuk si abang supir bergigi gingsul yang namanya masih belum bisa disebutkan karena masih dalam tebakan, takut salah nama jadi baiknya dipanggil abang supir yang keren saja.
Tali gerek beberapa kali putus. Menempuh perjalanan jauh dengan digerek memang tak mudah, terlebih ketika melewati jalanan berbukit.
Tak sanggup menarik mobil berisi beban, kami semua terpaksa turun dari mobil dan naik di atas mobil L-300 yang menggerek kami. Bukannya sedih, kami justru senang karena ini kali pertamaa merasakan rasanya duduk di bak belakang mobil, dilihat orang-orang sepanjang jalan, melewati jalanan berdebu hingga kami harus menutup wajah dengan tisu.
Beberapa tragedi terjadi selama diderek, umumnya ketika menaiki bukit, tali Derek putus dan mobil kami bergerak mundur, mobil derek hampir saja menambrak mobil kami tetapi untunglah dengan rem dan teriakaan “Reeem!!” mobil itu tak jadi saling bertumbukan. Segalanya tak lepas dari kuasa Allah.
Sialnya, mobil derek kami mendapat masalah baru, harus didorong baru bisa menyala. Ahh, mengapa penyakit itu menular pada mobil yang menderek mobil kami? Entah sudah berapa kali kami mendorong, tapi syukurlah kami tetap masih bisa tersenyum.
“Aku tidak menyesal ikut survey, ini survey paling greget dan tak terlupakan!” Masing-masing kami menyetujui kalimat itu.
Berdo’a sepanjang jalan agar semua baik-baik saja, kurasa itu yang kami lakukan diam-diam dalam gelak tawa. Jingga yang kulihat di timur kini tlah tiba di barat. Suasana melihatnyapun berbeda. Kami menatap jingga terbenam dari bak mobil yang tengah menderek mobil kami. Sesekali kami melihat abang supir di dalam mobil. Kasihan sekali abang itu, sendirian. Pasti sangat sepi tidak ada teman bicara. Ahh, semoga saja abang itu tidak kapok menjadi supir kami.
Senja berganti kelam. Azan maghrib berkumandang, kami baru saja sampai di Sorek, bengkel yang dituju ternyata tutup. Si pemilik bengkel telah ditelpon tetapi nihil. Mobil kembali digerek. Sampai di depan bengkel berikutnya yang juga tutup, akantetapi pemilik bengkel akan segera datang, katanya. Sembari menunggu, kami bergegas menuju masjid di sebrang jalan yang tak jauh dari tempat kami berhenti untuk menyelenggarakan sholat maghrib, mengadu pada Allah dan memohon ampunan. Mungkin apa yang terjadi adalah cobaan, tapi bisa saja hukuman sebab sebuah dosa.
Waktu yang panjang. Disela-sela perbaikan, si abang supir ditanyai oleh abang bengkel, “Kaukan angkatan paling tua, coba jawab! Menurutmu kalau kau melihat cewek, apanya yang menarik?” Tanya abang terssebut dengan logat bataknya.
Sejenak abang supir terdiam bingung-bingung malu, “Matanya,” jawab abang supir kami. Abang bengkel menyalahkan. Abang supir ngotot kalau jawabannya benar karena jawaban itu adalah hak setiap orang jadi wajar saja jika yang membuat menarik menurut setiap orang itu berbeda-beda. Sepertinya ia menjawab benar-benar dari hati dan serius.
“Salah lah, yang menarik itukan tangan,” jawab tukang bengkel yang pecah dengan gelak tawa kami. Abang supir menghela napas malu. Kami saling meledek. Ya begitulah yang berlangsung sejak kemarin, apapun yang terjadi tetap saja kami asyik bercanda tawa, tim asyik dan kece, rasanya kesialan ini justru berhikmah pada kedekatan antara kami, sayang kami tak sedesa. Dan benar kata seseorang, beda penjara dan istana itu hanya satu, yaitu tentang baimana kita bersyukur.
Mengingat kalimat itu aku jadi teringat kalimat kedua yang paling aku ingat sepanjang jalan, “Sungai itu dalamnya cuma sedada bebek” kata Zaid ketika kami melewati jembatan. Kau tahu? Kata-kata itu berhasil membuat aku lupa kalau bebek itu bukan batu.
Si abang supir dan tukang bengkel pergi menuju rumah si abang tukang bengkel untuk mengambil keperluan servis dan cas aki, sementara bang Wawan, Zaid dan mister Barbie (julukan untuk Yono) sibuk melepaskan tali kawat dari mobil derek. Kami? Tim ladies? Ahh jangan ditanya, kami justru di dalam mobil membuat ladies night, saling bertukar cerita seputar laki-laki, dan entah bagaimana bisa, tiba-tiba cerita itu berganti menjadi perkara lipstik.
Tak sengaja ketika cerita berganti menjadi perkara lipstik, Zaid berdiri di pintu mobil dan mendengar.
“Ya ampun, nggak selesai-selesai lipstik orang ni,” ledeknya kemudian duduk di bangku depan mobi sementara bang Wawan duduk di bagian supir dan mister Barbie tidur di belakang mobil. Ladies night berganti ladies and gentleman night, haha. Kami memperluas percakapan dan cerita sembari menunggu perbaikann mobil. Ada saja yang diceritakan, ada saja tawa yang terpecahkan.
Sedihnya, kami belum makan dari siang hingga pukul menunjukkan pukul sepuluh. Aku, Dhea dan Widia hanya kasihan pada laki-laki terkhusus abang supir yang paginya hanya sarapan mie.
“Kalian lapar?” Tanya bang Wawan.
“Kami sih bisa aja diatur, bang. Kami mikirin kaliannyo,” sahut Dhea.
“Ngapain kalian mikirin kami, kami aja nggak mikirin kalian,” tukas Zaid tertawa, memancing emosi yang berakhir tawa.
Entah pukul berapa mobil itu selesai dibenarkan, yang kutahu usai mobil itu dibenarkan kami membayar mobil itu dengan uang dari teman Widia. Uang itu dititipkan teman Widia ketika kami melewati Patodaan jauh sebelum mobil kami rusak, niatannya dititip untuk diberikan ke orang tua temannya tersebut. Namun, kami terpaksa memakai uang tersebut atas izin teman Widia juga, karena kami tidak menemukan ATM. Sebelumnya kami hampir frustasi masalah uang dan ATM ini, tapi entah bagaimana bisa, ingatan akan uang titipan itu terlintas. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang engkau dustakan?
Kami makan malam di Kerinci pukul setengah duabelasan. Nasi itu rasanya sudah tak menggoda lagi meski lapar, mungkin karena sudah terlampau telat makan. Tetapi aku tetap berusaha untuk menghabiskan makanan. Makan malam sembari melepas penat, menempuh perjalanan yang melelahkan namun amat berkesan.
Pukul duabelas malam  kami tiba di Sekijang. Sudah jatuh, baru berdiri kemudian tertimpa tangga dan jatuh lagi. Sepertinya begitu. Ban mobil belakang sebelah kiri seketika bocor. Ternyata kisah ini belum berakhir.
Abang supir bernama Rolly, ya, kami sudah tahu namanya saat mengkonfirmasi di rumah makan tadi. Ia mengeluarkan peralatan dongkrak, Widia menyenteri, Zaid mencoba membuka ban serap, yang lain mencari penyangga. Malang teramat malang,  ketika didongkrak, beban mobil tak seimbang hingga jatuh dan membuat dongkrak itu penyet, tidak bisa digunakan lagi.
Kami berjejer di pinggir jalan, melambaikan tangan dan meminta bantuan. Ada mobil yang berhenti kemudian pergi karena kami kejar. Mungkin  mobil tersebut takut dan banyak mobil yang hanya lewat.  Tentu saja, ini jalan lintas, sudah pukul duabelas lewat, mana ada yang berani berhenti menolong, bukankah zaman sekarang orang lebih baik tidak menolong dari pada kena lolong?
Dalam hati aku berdo’a, “Ya Allah, bukakanlah hati salah seorang pengemudi yang lewat agar berkenan menolong kami. Sungguh hanya kepadamu kami memohon pertolongan ya Allah,” gumamku dalam hati.
Aku selalu percaya kekuatan do’a. Aku selalu yakin dengan kejaiban hidup. Sebab itu aku masih bisa berkata semuanya baik-baik saja ketika dunia telah menentang dan ngotot berkata bahwa ia tak sedang baik-baik saja. Kau tahu? Mobil L300 yang baru saja melewati kami seketika berhenti, mobil itu mutar balik dan pengemudinya turun menolong kami. Allah, aku mencintaimu, sungguh.
Semua kembali baik-baik saja meski mobil kami harus didorong lagi agar bisa menyala.  Entah sudah berapa kali kami mendorong mobil, yang kutahu, entah mengapa hati ini justru ingin waktu berputar pelan. Dan ternyata tak hanya aku yang menginginkan itu.
Pukul setengah dua kami sampai di Pekanbaru, dan pukul dua kurang aku, Dhea dan Widia sampai di rumah Widia. Kami menginap disana hingga pagi sebab kembali ke kost sangat tidak mungkin.
Cerita ini tak sepenuhnya berakhir, sebab pagi hari kudengar ketika hendak mengembalikan mobil, ban kanan belakang mobil bocor dan harus ditambal. Luar biasa.  Dan bagi kami, satu hal lagi yang luar biasa,  abang Rolly, supir expert kami yang hingga akhir cerita belum juga turun reputasinya. Supir terbaik yang semoga saja tak jera pergi bersama kami. Terimakasih Kecamatan Teluk Meranti, abang supir dan Tim kece terbaper untuk empatpuluh dua jamnya.

*Ada masa dimana janji untuk tak akan lupa teringkari, jadi sebelum teringkari  izinkanlah kutulis sepenggaal cerita pengingat kisah kita. Detail kebersamaan itu kubiarkan menjadi rahasia rasa diantara kita saja, Tim (Bang Rolly, Bang Wawan, Zaid, Yono, Widia, Dhea, Fira).
(30 Mei - 1 Juni 2016)

Aku dan Kau


Perlu menanti empat tahun untuk dapat bertemu tanggal ini. Sebagaimana aku menanti hormon cinta itu enyah dari otakku. Ya, hormon Phenilethylamine itu hanya mampu bertahan tak kurang dari empat tahun. Ini tahun ke empat kita. Maksudku, tahun ke empat usai aku dan kau sempat menjadi kita.
Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan, “Tidak ada rasa cinta yang benar-benar murni  setelah 4 tahun. Bahkan cinta yang sangat dalam sekalipun akan kehabisan efek itu ketika sudah berjalan lebih dari 4 tahun. Hal itu dikarenakan tubuh sudah kebal terhadap semua efek hormon tersebut. Jika sudah begitu, rasa cinta akan cenderung berubah menjadi ketergantungan emosi dan seksual.”
Ku ingatkan sekali lagi, ini tahun ke empat kita. Maaf, maksudku tahun ke empat sejak masa aku dan kau sempat menjadi kita.  
 “Kau ini aneh! Membakar semua kenangan dengannya, tetapi justru mengambil gambar saat semuanya terbakar dan menyimpannya. Hampir tiap failed anniv melihat foto itu. Itukan juga bagian dari kenangan yang semestinya kau musnahkan, Ge! Gimana mau move on kalo begini terus!” 
Menghela napas berat.  Membalikkan gambar itu dan menempelkannya ke atas meja. Benar kata gadis berkerudung panjang ini, bagaimana bisa kenangan itu lenyap sekalipun tlah menjadi abu sedang aku mengabadikan potret ketika api itu melahap kenangan kita satu persatu? Kita? Hah! Itu tiga tahun lalu.
Empat tahun lalu. Kita memutuskan bersama. Berpikir bahwa waktu akan berpihak pada kita. Kau sempat berjanji, “Kau tenang saja, jelaskan saja tentang keyakinanmu, sebab aku pun bukan penganut yang taat.”
Berjalan meniti perbedaan yang dilihat sinis oleh ibumu dan ayahku itu ternyata tak mudah. Hingga akhirnya kita menyadari bahwa yang satu hanya Tuhan, bukan kita.
“Aku sudah melupakannya. Sungguh!” jeda sesaat, “Memang bukan dalam arti lupa sebenarnya. Hanya mengubah rasa saat teringat.”
Zafa mengangkat alisnya. Keningnya mengkerut menatapku lamat-lamat. Tatapan curiga penuh ketidak percayaan.
“Penelitian mengatakan, hormon cinta hanya bertahan kurang dari empat tahun, Za. Ini tahun ke empat!” Aku memasang senyum paling lebar. Dibuat natural agar Zafa percaya.
Zafa tertawa, “sejak kapan kau percaya penelitian itu? Bukankah kau yang mengatakan kalau cinta itu energi? Dan dalam hukum Termodinamika satu, energi tidak dapat dimusnahkan, begitu katamu.” Belum sempat aku menjelaskan, ia menyambung pernyataannya, “Ooo hay! Kau jatuh cinta lagi ya? Orang-orang bilang, hanya ada satu cara untuk move on, yaitu dengan jatuh cinta lagi! Ayo katakan  pada siapa? Pada Randy? Atau Kiki? Deri juga tampaknya tak kalah saing dalam mendekatimu?” Aku tergelak. Bicara apa sahabatku ini.
“Zafa, please.” Aku menatap Zafa. Berbicara lewat mata bahwa ia seharusnya paham, aku tak ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Kali ini bukan sekedar karena aku tak percaya lagi pada laki-laki. Bukan sekedar karena aku menganggap laki-laki semuanya sama. Bukan pula karena rasaku masih tertahan padamu. Tetapi lebih kepada ajaran agama yang memang melarang adanya hubungan tidak halal berlebel pacaran. Memang tidak semua pacaran itu zina. Tetapi semua zina bermula dari pacaran, bukan?
Semula aku juga tak bisa terima kalau pacaran itu diharamkan. Dengan beragam alibi. Dengan banyak pembelaan. Tetapi, hampir setahun ini, hidayah itu menghampiri. Menyalinap ke dalam pori. Membuat hati menjadi hina dan malu akan dosa yang selama ini tlah terajut manis dalam ikatan pacaran. Syukur saja aku dan kau sudah tak lagi kita. Syukur pula laki-laki bajingan itu ketahuan belangnya sebelum kuterima pinangannya.
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam. Sabdanya :
“Nasib anak Adam mengenai zina telah ditetapkan. Tidak mustahil dia pernah melakukannya. Dua mata, zinanya memandang. Dua telinga, zinanya mendengar. Lidah, zinanya berkata. Tangan zinanya memegang. Kaki, zinanya melangkah. Hati, zinanya ingin dan rindu, sedangkan faraj (kemaluan) hanya mengikuti dan tidak mengikuti.” (Hadits Shahih Muslim No. 2282)
“Ya ya. Paham. Hafal malah. Belum ada seorang pun yang mampu kau cintai seperti kau mencintai dia. Dan semua laki-laki bajingan di matamu kecuali ayah, kakek, paman dan dia. Akan tetapi kau murni nggak mau pacaran karena Allah, sekalipun dia ngajak balikan. Begitu, bukan?” Aku tertawa. Sangking seringnya kalimat itu diulang, ia sampai hafal.
            “Za …kali ini aku sungguh-sungguh sudah benar-benar tak ada rasa lagi padanya. Dan bukan berarti ada yang baru juga. Sekarang, hati ini tak dihuni oleh lelaki mana pun, aku ingin menyerahkan hati ini sama Allah. Dan siapa yang mau menghuninya, silahkan minta langsung saja pada Allah.” Aku mengambil lembaran foto yang aku tempelkan pada meja kemudian menyobeknya kecil-kecil. Sungguh, rasaku padamu sudah tak ada lagi. Telah mati. Raib bersama hormon Phenilethylamine.
            Ponselku seketika berdering. Ada satu pesan masuk.
Dari : +658172635xxx
29 Februari. Ini tanggal yang kita tunggu, bukan? Aku ingat, bagaimana empat tahun lalu kita menantikan tanggal ini untuk meresmikan status di antara kita. Aku ingat betapa kau menyukai tanggal empat tahun sekali ini. Sayang, tanggal tahun ini dan empat tahun lalu berbeda. Bukan milik kita lagi. Andai kau tahu, aku menyayangimu dengan sangat. Tapi bagaimana mungkin aku bisa meminta hatimu pada-Nya sedang aku bukan hambaNya. Lucu sekali. Sad Failed Anniv, sayang.
            Aku menelan ludah. Mengapa kau hadir disaat aku nyaris berhasil melupakanmu? Tidak. Ini bukan nyaris, tetapi aku benar-benar berhasil melupakanmu. Aku yakin, pesan singkatmu adalah ujian dari Allah, tentang seberapa jujur aku telah melupakanmu. Lihat bagaimana aku menghapus pesanmu begitu saja tanpa air mata. Aku benar-benar sudah melupakanmu. Ini sungguhan!
            “Mengapa wajahmu berubah seperti itu? Pesan dari siapa?”
          “Bukan dari siapa-siapa. Tidak penting.” Senyumku mengembang natural. Benar-benar natural. Bukan dibuat-buat.
Semula, aku memang enggan membenarkan hasil penelitian tersebut. Sebab bagiku, cinta adalah energi. Kau ingat hukum Termodinamika pertama? Tentang kekekalan energi? Energi tidak dapat dimusnahkan, bukan?

Tetapi, aku lupa satu hal tentang hukum kekekalan energi. Energi memang tidak dapat dimusnahkan, akantetapi dapat berubah ke bentuk lain. Dan mungkin itulah yang telah terjadi pada energi diantara aku dan kau.

Rasa Tak Berujung


Cerpen kali ini adalah cerpen lama yang sudah pernah di posting pada blog saya yang lama sehingga mungkin sudah dibaca oleh teman-teman semua dengan nama tokoh dan sedikit jalan cerita yang berbeda. Sempat diikutkan dalam lomba heart to heart dan hanya meraih penghargaan berupa sertifikat sebagai seratus cerpen terbaik tanpa diterbitkan. Kemudian sempat juga di ikutkan lomba bertema cinta akan tetapi tidak mendapatkan juara. Alhamdulillah, setelah direvisi beberapa bagian dan penggantian nama tokoh, akhirnya naskah ini bertemu dengan jodohnya ^_^ Ya begitulah, tidak ada karya yang buruk. Yang ada hanya karya yang belum bertemu jodohnya. Hoho.
           
            Pernahkah kalian mencintai seseorang tanpa tahu alasannya? Begitu setia dalam cinta yang tak pernah tahu kalau kalian tengah mencinta? Seberapa lama rasa itu mampu bertahan? Bertahun-tahunkah? Aku rasakan itu. Dan rasa itu bertahan hampir sepuluh tahun lamanya, mungkin lebih. Cinta melumpuhkan logika dan meningkatkan kebodohanku.
 Inikah artinya cinta?Sebuah kebodohan tiada ujung?
8 November 2005
Aku tengah terdiam sendirian menerawang jauh entah kemana. Duduk bersila di atas salah satu meja rusak yang masih bisa untuk kududuki. Kedua tangan menopang kepala yang enggan untuk tegak sempurna.
“Ehem, ngelamun sendirian aja nih?! Karin kemana? Tumben?”  Suara seseorang mengacaukan dunia kesendirianku. Kepalaku berputar mencari asal suara tersebut. Sesosok laki-laki datang mendekat dari arah barat. Dia duduk di sampingku mengikuti posisi dudukku. Aku hanya diam mengerutkan kening melihat tinggkahnya.
“Sakit?” Tanyanya lagi. Oh Tuhan …pandangan matanya menatapku sungguh membuat hati terhanyut ke dalamnya. Tolong jaga hati ini, Tuhan.
Aku menggeleng dengan malas, “Nggak, Cuma nggak enak badan aja,” jawabku tersenyum kaku di hadapannya.
“Jangan-jangan kamu demam lagi? Sini-sini aku periksa!” Laki-laki itu sedikit menggeser posisi duduknya hingga bisa berhadapan denganku kemudian membalik-balik tangan kanannya di keningku seperti seorang dokter yang sedang memeriksa apakah pasiensnya demam.
Ia menatap mataku, aku langsung gugup dan mengalihkan pandanganku seraya tersenyum kaku. “Tidak panas, banyak-bayak liatin Tio aja, entar pasti sembuh,” ia tertawa kecil. Aku ikut larut dalam tawanya.
***
“Teringat padanya lagi?” Suara berat seorang pria membuyarkan lamunanku. Aku meliriknya sekilas. Lalu kulirik kembali meja dan kursi rusak yang menjadi saksi bisu bahwa hatiku tlah direnggut oleh laki-laki yang kini tak tahu dimana dan apa kabarnya.
“Pertanyaan bodoh,” jawabku kemudian mengambil langkah untuk beranjak pergi. Langkah kaki yang hendak melangkah pergi itu tertahan. Ardi menjegat pergelangan tangan kananku.
“Maafkan aku, karena masih belum mampu mengeluarkan dia dari hatimu,” ucap Ardi. Mataku terasa perih mendengar kata-kata itu. Aku sadar, rasa cintaku pada Tio saat ini bukan hanya menyakiti diriku sendiri, tapi juga Ardi. Pria tulus yang sangat mencintaiku.
“Bukan salahmu. Lepaskan aku, ini sekolah, jangan sampai ada yang salah paham melihat kita, bapak Lukman Ardi,” melepaskan tangan dari jeratan jari-jemarinya. Ia melepaskannya dengan lembut. Kemudian aku melangkah pergi meninggalkannya.
***
Keputusanku telah bulat. Aku benar-benar tak ingin menyakiti orang yang mencintaiku. Tugasku kini bertambah, bukan hanya berusaha menghilangkan rasa cintaku untuk Tio, tapi juga menghilangkan rasa cinta Ardi kepadaku karena aku tak mampu membalasnya. Dua tugas itu menurutku punya satu cara. Berhenti. Berhenti mengajar di sekolah ini.
Aku membereskan barang-barang dari meja. Guru-guru dan siswa-siswi telah silih berganti menanyai alasan kepergianku. Ada yang menahan agar tetap mengajar di sekolah ini, ada juga yang bersikap biasa saja dan hanya turut berdo’a untuk kebaikan dipekerjaan selanjutnya. Tak ada perayaan khusus untuk kepergianku dari sekolah ini. Bukan karena tak ada yang mau mengadakan, tapi karena aku yang meminta tak diadakannya acara itu. Menurutku, itu hanya membuat bathinku kian tersiksa.
“Leoni, maksudmu apa dengan semua ini? Mengapa kamu mengundurkan diri dari sekolah ini? Bukankah ini cita-citamu sejak kecil? Menjadi seorang guru?” Desak Ardi bertanya kepadaku. Aku dapat melihat beberapa orang guru yang ada di ruang majelis guru itu melihat diriku dengan Ardi. Tapi, kali ini aku tak memperdulikan pandangan itu.
“Maksudku sudah jelas, Di. Aku …tak ingin tersiksa dengan semua kenangan yang tercipta pada masa laluku dulu di sekolah ini. Aku tak mau itu membuat aku larut dalam cinta yang tak berujung. Aku harap kamu ngerti, bapak Lukman Ardi,” tegasku padanya. Aku rasa semua barang-barang di meja ini telah selesai kubereskan.
***
Dua tahun telah berlalu. Aku menghindar bahkan lenyap dari kehidupan Ardi. Karena sejak saat itu aku menetap di Bandung. Dan Ardi tak tahu itu. Kuharap dua tahun waktu yang cukup untuk Ardi melupakan aku. Meski waktu dua tahun bahkan sepuluh tahun bukan waktu yang cukup untukku melupakan Tio.
 Taman kana-kanak, itu tempat baruku. Mengajar anak-anak yang masih lucu dan polos. Ada kesenangan tersendiri di bathinku.
 “Pagi ibu gulu yang cantik!! Ibu kenalin, aku Laldi, mulid balu,” seorang anak laki-laki menyapaku dengan cadelnya. Anak laki-laki itu tampan dan …sepertinya tak perlu kulanjutkan.
“Iya anak ibu guru yang tampan. Makasi ya udah bilang ibu cantik,” aku tersenyum ramah padanya. Tuhan, mengapa ada yang aneh? Mengapa ada getaran di hati ini saat menatap anak kecil ini? Jangan bilang aku terkena penyakit mencintai laki-laki dibawah umur?
“Raldi bekalmu ketinggalan, sayang,” terdengar suara seseorang sedikit berteriak. Sepertinya seseorang itu memanggil anak kecil yang berada di hadapanku ini. Anak kecil yang berada di hadapanku ini pun menoleh dan aku mengikuti arah tolehannya.
DEG. Rasanya seperti disambar petir. Tubuhku langsung terdiam kaku membisu detak jantung berpacu dengan irama musik rock and roll.
“Oh iya, Pa. Laldi lupa,” jawab anak kecil itu dengan polosnya.
“Pa, kenalin ini gulu Laldi.”
“Hallo, saya Tio. Hmm sepertinya kita pernah kenal? Tapi dimana ya?” Tuhan, bahkan dia lupa padaku? Sungguh bodohnya aku mengingat seseorang yang sama sekali tak mengingatku. Semuanya bagai disambar petir lalu ketiban pohon tumbang.
Sakit. Hancur. Mati. Itu yang kurasakan. Seseorang yang tak bisa kulupakan justru dengan mudahnya melupakan aku. Tuhan …mengapa aku begitu bodoh? Mampu begitu setia dalam cinta yang tak pernah tahu kalau aku mencinta?
***
 “Apa kejadian ini akan membuat kamu juga melepaskan cita-cita kamu menjadi guru TK, Le?” Pertanyaan itu. Suara itu seolah tak asing di telingaku.
“Ardi?” Mataku membelalak melihat sosok Ardi yang berada di belakangku.
“Lama rasanya aku tak melihat wajah kamu. Aku rindu kamu,”
“Kamu …?”
“Ya, aku masih mencintai kamu. Cinta itu masih setia menunggumu. Dan aku lihat semua kejadian tadi. Jawab pertanyaan aku, Le?”
Aku terdiam. Kemudian aku menggeleng. “Nggak. Aku akan tetap di sini. Tak akan melepas cita-cita ini. Aku yakin, cepat atau lambat dia akan keluar dari hati ini. Kamu masih mau membantu aku mengeluarkan dia dan menggantikan posisinya, bukan?” Ardi tersenyum.


*Telah terbit dalam antologi Flashfiction bersama penerbit Nerin Media

22-11


            “Jangan bodoh!” Suara dengan isi kalimat yang itu-itu saja kembali mengusik lamunannya. Muncul sepersepuluh menit sekali. Masuk dari kuping kiri kemudian lewat tanpa rintangan hingga mencapai pintu keluar kuping kanan. Angin pantai kemudian membawa pergi suara itu.
            Sepasang bola berkornea itu telah digenangi air. Satu kedipan saja, maka  akan jatuh sempurna membelai wajah yang tak lagi seperti dulu. Sorot mata itu penuh harapan menatap jingga di ufuk barat yang hampir tenggelam.
            Lima.
            Empat.
            Tiga.
            Dua.
            Ahh! Dia selalu saja terlampau cepat berhitung. Seharusya bisa lebih lambat lagi. Tidak. Dia tidak pernah terlampau cepat. Hitungannya tepat. Jingga itu memang telah tenggelam. Tinggal langit biru dengan biasan jingga yang tak lama akan berganti kelam. Tapi, ada yang salah.
            “Sampai kapan kamu mau seperti ini?” Pertanyaan tersebut sudah pernah keluar beberapa kali, tak kalah sering dengan kaliamat ‘jangan bodoh.’
            Ombak tampak enggan menggulung senyum ketepian. Napasnya terhela sesak. Ini senja kesekian di tanggal duapuluh dua bulan sebelas.
            Apa kabar?
            Bolehkan kita meramu obat rindu?
            Ada sesuatu penting yang ingin kusampaikan. Datanglah ke tempat dimana kau bisa melihat jingga tenggelam bersama ombak yang agresif menyetubuhi pasir pantai. Aku tunggu di tanggal kembar tak bertangkai dan bulan kembar yang langka, tahun ini. Tepat Anniversarry kita ke-5 tahun.
                                                                        -Jimmi-
            Kalimat dalam surat waktu itu sangat lengkap melekat diingatannya, tak ada satu huruf atau tanda baca yang absen. “Bodoh itu saat kau menunggu sesuatu yang tak pasti,” jeda sesaat. Kepalanya menoleh menatap wanita yang sedari tadi duduk di sampingnya, “Sedang Jimmi pasti datang, dia bukan laki-laki yang ingkar janji!”
            Risya, wanita itu menatap gadis dengan mata penuh harap itu dengan miris. Dipandanginya wajah yang masih terdapat bekas luka akibat menjilat aspal jalanan. Menelan ludah kemudian menggeleng. “Tapi ini bukan tanggal atau pun bulan kembar, Ay.”
            Ayla tergelak, “Kau bercanda? sekarang tanggal 22 November 2014.”
22 November 2014
            Jingga beranjak turun. Lelaki itu tak kunjung datang. Lima. Empat. Tiga.
            “Dua. Satu,” suara laki-laki tersebut membuat kepalanya menoleh melupakan sang jingga.
            “Lihat! Hitunganmu tepat sekali!” Seru laki-laki tersebut menatap langit yang telah kehilangan jingga. Gadis itu ikut menoleh kembali menatap jingga yang telah tenggelam di balik bukit tengah lautan.
            Laki-laki itu kemudian berjalan menghampirinya. Senyum gadis itu mengembang. “Lama tak bertemu? Sudah dua tahun sejak kamu kuliah S2 ke Malaysia, bukan? Sungguh aku merindukanmu!” Celotehnya tampak amat sumbringah, sedang air muka laki-laki tersebut tampak sendu.
            “Ini,” sebuah kertas berbalut plastik yang cantik tampak seperti undangan tersedor di hadapannya. Dilihatnya terdapat tulisan Jimmi & Kezha. Wajah sumbringahnya berganti bingung. Ditatapnya Jimmi dengan wajah penuh harap kalau apa yang disodorkan tersebut adalah undangan palsu, semuanya hanya candaan semata.
            “Aku minta maaf,” Jimmi menunduk. Ayla masih menatapnya, menanti ada penjelasan selanjutnya dari semua itu. “Ini permintaan ayah, kau tahu bagaimana ayahku bukan? Beliau tak pernah merestui kita?” Jimmi menatap gelang salib di pergelangan tangannya. Ayla mengikuti arah mata Jimmi.  
***
            “Aku titip Ayla,” pesan Jimmi pada gadis berjilbab bernama Risya. Risya menelan ludah, muak. Ingin tangan itu melayang menampar Jimmi, memaki laki-laki itu, meremas wajahnya. membentaknya. Marah. Geram.
            Risya mengangguk tanpa menoleh melihat Jimmi. Ia benci laki-laki itu. Tapi sahabatnya Ayla juga bodoh! Sudah tahu mereka tak bisa bersatu, sudah tahu takkan mendapat restu, tetapi tetap bertahan dalam pilu dengan harapan segalanya kan berpihak seiring waktu. Bodoh!
            Ia beranjak melihat Ayla dari kaca kecil di pintu rumah sakit. Mungkin, Allah membuat Ayla kecelakaan untuk mengistirahatkan jiwanya sesaat dan berharap saat sadar nanti Ayla lupa segalanya. Bahkan tentang Jimmi. Amnesia, baru kali ini ada yang mengharapkannya.
29 Desember  2015
            Ia masih setia pada waktu. Awan hitam berarak menghampiri mereka. Mengalirkan rintik peluruh luka.
            “Hujan!! Ayo kita harus segera berteduh, nanti kau sakit seperti seminggu lalu,” ajak Risya menarik tangan Ayla. Ayla enggan beranjak. Ia bersikokoh pada posisinya.
            “Tidak! Kali ini aku tak akan pergi. Aku takut nanti dia datang saat aku pergi!”
            “Dia tidak akan datang Ayla!!! Sadarlah! Jimmi sudah menikah dengan wanita lain setahun lalu! Kau melihat sendiri undangannya di tempat ini. Jimmi sudah datang menemuimu di tempat ini setahun lalu, Ayla! Sadarlah! Sekarang tanggal 29 Desember 2015 bukan 22 November 2014! Sadar, Ay! Sampai kapan kamu mau menganggap semua hari adalah tanggal 22 bulan 11? Sampai kapan kamu akan selalu menanti di sini sepanjang senja hingga langit berganti gelap?” Semua yang menyesak itu terutarakan dengan beberapa nada penuh tekanan dipandu suara rintik hujan.
            Pikiran Ayla berputar-putar. Ia tak mengerti maksud Risya. Trauma dan kecelakaan itu membuatnya terkena penyakit aneh dimana menganggap setiap hari adalah tanggal 22 November 2014, sebab itu ia selalu melihat senja dan menanti Jimmi di Pantai. Ayla berdiri dari posisinya, ingin mengucapkan sesuatu akan tetapi semua terasa berat. Kemudian gelap.


*Telah terbit dalam buku kumpulan antologi cerpen  One Time’ Penerbit : Viramedia