RSS

Rasa Tak Berujung


Cerpen kali ini adalah cerpen lama yang sudah pernah di posting pada blog saya yang lama sehingga mungkin sudah dibaca oleh teman-teman semua dengan nama tokoh dan sedikit jalan cerita yang berbeda. Sempat diikutkan dalam lomba heart to heart dan hanya meraih penghargaan berupa sertifikat sebagai seratus cerpen terbaik tanpa diterbitkan. Kemudian sempat juga di ikutkan lomba bertema cinta akan tetapi tidak mendapatkan juara. Alhamdulillah, setelah direvisi beberapa bagian dan penggantian nama tokoh, akhirnya naskah ini bertemu dengan jodohnya ^_^ Ya begitulah, tidak ada karya yang buruk. Yang ada hanya karya yang belum bertemu jodohnya. Hoho.
           
            Pernahkah kalian mencintai seseorang tanpa tahu alasannya? Begitu setia dalam cinta yang tak pernah tahu kalau kalian tengah mencinta? Seberapa lama rasa itu mampu bertahan? Bertahun-tahunkah? Aku rasakan itu. Dan rasa itu bertahan hampir sepuluh tahun lamanya, mungkin lebih. Cinta melumpuhkan logika dan meningkatkan kebodohanku.
 Inikah artinya cinta?Sebuah kebodohan tiada ujung?
8 November 2005
Aku tengah terdiam sendirian menerawang jauh entah kemana. Duduk bersila di atas salah satu meja rusak yang masih bisa untuk kududuki. Kedua tangan menopang kepala yang enggan untuk tegak sempurna.
“Ehem, ngelamun sendirian aja nih?! Karin kemana? Tumben?”  Suara seseorang mengacaukan dunia kesendirianku. Kepalaku berputar mencari asal suara tersebut. Sesosok laki-laki datang mendekat dari arah barat. Dia duduk di sampingku mengikuti posisi dudukku. Aku hanya diam mengerutkan kening melihat tinggkahnya.
“Sakit?” Tanyanya lagi. Oh Tuhan …pandangan matanya menatapku sungguh membuat hati terhanyut ke dalamnya. Tolong jaga hati ini, Tuhan.
Aku menggeleng dengan malas, “Nggak, Cuma nggak enak badan aja,” jawabku tersenyum kaku di hadapannya.
“Jangan-jangan kamu demam lagi? Sini-sini aku periksa!” Laki-laki itu sedikit menggeser posisi duduknya hingga bisa berhadapan denganku kemudian membalik-balik tangan kanannya di keningku seperti seorang dokter yang sedang memeriksa apakah pasiensnya demam.
Ia menatap mataku, aku langsung gugup dan mengalihkan pandanganku seraya tersenyum kaku. “Tidak panas, banyak-bayak liatin Tio aja, entar pasti sembuh,” ia tertawa kecil. Aku ikut larut dalam tawanya.
***
“Teringat padanya lagi?” Suara berat seorang pria membuyarkan lamunanku. Aku meliriknya sekilas. Lalu kulirik kembali meja dan kursi rusak yang menjadi saksi bisu bahwa hatiku tlah direnggut oleh laki-laki yang kini tak tahu dimana dan apa kabarnya.
“Pertanyaan bodoh,” jawabku kemudian mengambil langkah untuk beranjak pergi. Langkah kaki yang hendak melangkah pergi itu tertahan. Ardi menjegat pergelangan tangan kananku.
“Maafkan aku, karena masih belum mampu mengeluarkan dia dari hatimu,” ucap Ardi. Mataku terasa perih mendengar kata-kata itu. Aku sadar, rasa cintaku pada Tio saat ini bukan hanya menyakiti diriku sendiri, tapi juga Ardi. Pria tulus yang sangat mencintaiku.
“Bukan salahmu. Lepaskan aku, ini sekolah, jangan sampai ada yang salah paham melihat kita, bapak Lukman Ardi,” melepaskan tangan dari jeratan jari-jemarinya. Ia melepaskannya dengan lembut. Kemudian aku melangkah pergi meninggalkannya.
***
Keputusanku telah bulat. Aku benar-benar tak ingin menyakiti orang yang mencintaiku. Tugasku kini bertambah, bukan hanya berusaha menghilangkan rasa cintaku untuk Tio, tapi juga menghilangkan rasa cinta Ardi kepadaku karena aku tak mampu membalasnya. Dua tugas itu menurutku punya satu cara. Berhenti. Berhenti mengajar di sekolah ini.
Aku membereskan barang-barang dari meja. Guru-guru dan siswa-siswi telah silih berganti menanyai alasan kepergianku. Ada yang menahan agar tetap mengajar di sekolah ini, ada juga yang bersikap biasa saja dan hanya turut berdo’a untuk kebaikan dipekerjaan selanjutnya. Tak ada perayaan khusus untuk kepergianku dari sekolah ini. Bukan karena tak ada yang mau mengadakan, tapi karena aku yang meminta tak diadakannya acara itu. Menurutku, itu hanya membuat bathinku kian tersiksa.
“Leoni, maksudmu apa dengan semua ini? Mengapa kamu mengundurkan diri dari sekolah ini? Bukankah ini cita-citamu sejak kecil? Menjadi seorang guru?” Desak Ardi bertanya kepadaku. Aku dapat melihat beberapa orang guru yang ada di ruang majelis guru itu melihat diriku dengan Ardi. Tapi, kali ini aku tak memperdulikan pandangan itu.
“Maksudku sudah jelas, Di. Aku …tak ingin tersiksa dengan semua kenangan yang tercipta pada masa laluku dulu di sekolah ini. Aku tak mau itu membuat aku larut dalam cinta yang tak berujung. Aku harap kamu ngerti, bapak Lukman Ardi,” tegasku padanya. Aku rasa semua barang-barang di meja ini telah selesai kubereskan.
***
Dua tahun telah berlalu. Aku menghindar bahkan lenyap dari kehidupan Ardi. Karena sejak saat itu aku menetap di Bandung. Dan Ardi tak tahu itu. Kuharap dua tahun waktu yang cukup untuk Ardi melupakan aku. Meski waktu dua tahun bahkan sepuluh tahun bukan waktu yang cukup untukku melupakan Tio.
 Taman kana-kanak, itu tempat baruku. Mengajar anak-anak yang masih lucu dan polos. Ada kesenangan tersendiri di bathinku.
 “Pagi ibu gulu yang cantik!! Ibu kenalin, aku Laldi, mulid balu,” seorang anak laki-laki menyapaku dengan cadelnya. Anak laki-laki itu tampan dan …sepertinya tak perlu kulanjutkan.
“Iya anak ibu guru yang tampan. Makasi ya udah bilang ibu cantik,” aku tersenyum ramah padanya. Tuhan, mengapa ada yang aneh? Mengapa ada getaran di hati ini saat menatap anak kecil ini? Jangan bilang aku terkena penyakit mencintai laki-laki dibawah umur?
“Raldi bekalmu ketinggalan, sayang,” terdengar suara seseorang sedikit berteriak. Sepertinya seseorang itu memanggil anak kecil yang berada di hadapanku ini. Anak kecil yang berada di hadapanku ini pun menoleh dan aku mengikuti arah tolehannya.
DEG. Rasanya seperti disambar petir. Tubuhku langsung terdiam kaku membisu detak jantung berpacu dengan irama musik rock and roll.
“Oh iya, Pa. Laldi lupa,” jawab anak kecil itu dengan polosnya.
“Pa, kenalin ini gulu Laldi.”
“Hallo, saya Tio. Hmm sepertinya kita pernah kenal? Tapi dimana ya?” Tuhan, bahkan dia lupa padaku? Sungguh bodohnya aku mengingat seseorang yang sama sekali tak mengingatku. Semuanya bagai disambar petir lalu ketiban pohon tumbang.
Sakit. Hancur. Mati. Itu yang kurasakan. Seseorang yang tak bisa kulupakan justru dengan mudahnya melupakan aku. Tuhan …mengapa aku begitu bodoh? Mampu begitu setia dalam cinta yang tak pernah tahu kalau aku mencinta?
***
 “Apa kejadian ini akan membuat kamu juga melepaskan cita-cita kamu menjadi guru TK, Le?” Pertanyaan itu. Suara itu seolah tak asing di telingaku.
“Ardi?” Mataku membelalak melihat sosok Ardi yang berada di belakangku.
“Lama rasanya aku tak melihat wajah kamu. Aku rindu kamu,”
“Kamu …?”
“Ya, aku masih mencintai kamu. Cinta itu masih setia menunggumu. Dan aku lihat semua kejadian tadi. Jawab pertanyaan aku, Le?”
Aku terdiam. Kemudian aku menggeleng. “Nggak. Aku akan tetap di sini. Tak akan melepas cita-cita ini. Aku yakin, cepat atau lambat dia akan keluar dari hati ini. Kamu masih mau membantu aku mengeluarkan dia dan menggantikan posisinya, bukan?” Ardi tersenyum.


*Telah terbit dalam antologi Flashfiction bersama penerbit Nerin Media

0 komentar:

Posting Komentar