Pekanbaru
kota bertuah. Kurasa kalimat itu perlu diganti. Kalimat yang lebih bagus adalah
...Pekanbaru kota berasap. Yap!
Dari balik kaca helm aku melihathamparan jalan yang panjang. Kali ini aku
mengendarai motorku dengan kecepatan dibawah standard. Biasanya kecepatan itu digunakan ketika melewati jalan asing. Jalan
yang belum pernah aku lalui atau hanya beberapa kali saja aku lalui. Alasannya
sederhana, sebab aku belum hafal benar tentang dimana lobang dan arus
kemacetannya. Jadi harus hati-hati, pesan ayah begitu. Namun, ini bukanlah
jalan asing, akantetapi jalan yang selalu aku lewati sepulang kampus. Sayang, kini tlah menjadi asing.
Dulu, aku bisa melihat jauh. Jauh
hingga keujung sana. Melihat bangunan tinggi di ujung jalan dekat persimpangan
lampu merah itu. Namun, sekarang? Semua tak sejauh dulu. Tak sampai seratus
meter jaraknya, semua telah menjadi putih. Hanya tinggal bayang-bayang yang
hanya akan semakin jelas bila jaraknya semakin dekat. Aku masih mengendarai
motorku. Sesekali mataku melirik trotoar. Jajaran masker dengan beragam bentuk
di perdagangkan sepanjang trotoar. Miris.
Aku menelan ludah. Dari balik masker
bertipe N-95 aku menghirup udara yang tak lagi segar. Kemudian mataku terusik
oleh beberapa anak kecil berlarian di depan pertokoan tanpa mengenakan masker. Hatiku
teriris melihatnya. Mungkin tidak sekarang anak-anak itu merasakan dampaknya. Tapi
nanti, kata ayah begitu. Tak hanya itu, orang-orang yang kulihat sepanjang
jalan tlah menjadi ninja. Kain beragam hiasan itu menutupi hidung dan mulut
mereka. Sadarkah? Masker jenis itu tak sepenuhnya mampu melindungi mereka. Ayah
bilang, masker kain kasa tak mempan menyaring partikulat berbahaya itu,
sebaiknya memakai masker tipe N-95. Tapi tak semua orang paham itu bukan? utuh
sosialisasi lebih lanjut, sayangnya ayah tak mau mesosialisasikannya.
Aku akhirnya sampai di rumah. Rumah
bertingkat dua sekelas pejabat yang menjadi hunian keluargaku. Keluarga? Haha,
tidak. Tidak benar-benar keluarga sejak ibu menggugat cerai ayah dan hak asuhku
jatuh ketangan ayah. Waktu itu usiaku sepuluh tahun dan aku belum amat mengerti
alasannya. Bahkan hingga saat ini tak ada yang mau menjelaskan alasannya. Yang
kutahu, kata ibu, ibu tak tahan bersama ayah. Ayah orang jahat. Tapi, dimataku,
ayah tak jahat. Ayah ilmuan hebat yang baik hati. Bahkan sudah tiga tahun ayah
bergulat di laboratoriumnya, mencari absoben yang dapat menyerap asap untuk
menciptakan teknologi canggih yang bisa mengatasi masalah asap di Pekanbaru ini.
Ya, sebentar lagi ayah akan dinobatkan sebagai pengendali asap bila alat
canggih yang diciptakannya berhasil.
“Pergi dengan motor lagi? Sudah tahu
asap. Kenapa tidak bawa mobil?” Tegur ayah begitu aku memarkirkan motor matik
kesayanganku di garasi.
“Ayahkan tahu Syafa nggak suka bawa
mobil. Lagipula, mobil ataupun motor sama saja. Sama-sama tidak bisa membuat Syafa
bernapas dengan udara segar, bukan? Lagi pula syafa sudah pakai masker, ayah. Jangan
terlampau khawatir.”
Ayah menggeleng dengan jawabanku. Ia
berbalik dan mengambil langkah meninggalkanku.
“Ayah!” Panggilku. “Maafin, Syafa
ya,” lanjutku menunduk. aku melihat
ayah. Aku suduah banyak melawan laki-laki dengan rambut yang hampir memutih
secara keseluruhan itu. Ia pasti lelah bekerja sendirian. Sejak ibu pergi ayah
menjadi ibu sekaligus ayah untukku. Ayah yang terbaik.
Ayah tersenyum lembut. “Kamu nggak
salah. Oh ya, tumben pulang kampusnya cepat?”
“Kuliah diliburkan karena asap, Yah.
Asapnya makin tebal. Makin parah,” aku membuka maskerku kemudian terbatuk.
“Ya sudah, cepat cuci muka. Minum
air mineral banyak-banyak, jangan lupa makan buah. Kita akan pergi berlibur,
ayah akan pesan tiket untuk kita ke ...”
“Kyoto!” Potongku bersemangat. Kyoto,
Jepang. Aku suka tempat itu. Terasa tentram dan damai. Bebas macet dan bebas
polusi. Tiap asap mulai parah hingga libur kuliah dan sebelum bandara ditutup ayah
selalu mengajakku ke sana. Tempat pelarian yang indah!
Ayah mengangguk setuju. Aku mengepal
kedua tanganku dan berseru riang. Cepat aku berlari menaiki anak tangga menuju
kamar. Bersiap-siap.
Koperku sudah selesai. Semua yang
harus dibawa sudah siap. Kulihat keluar jendela kamar. Jendela kamarku saja
berdebu sebab asap. Pohon yang biasanya tampak kini tak lagi tampak. Hanya
pohon ketapang yang berjarak dekat dari jendela tersebut yang terlihat. Daunnya
menguning. Selain karena memang tengah musim kemarau, aku yakin daun itu juga
lebih cepat menguning disebabkan polusi udara, seorang dosen pernah berkata
bahwa ketapang adalah pohon yang amat sensitif terhadap pengaruh cuaca. Kemudian
sebuah pemikiran asing terlintas di benakku.
Suara pintu kamar yang dibuka memecahkan
pikiran asing tersebut. “Sudah siap?” Tanya ayah di ambang pintu.
“Ayah, penelitian ayah bagaimana? Teknologi
penghilang asap itu sudah jadi?”
Ayah menggeleng. “Nanti sepulang
dari Kyoto ayah akan menyelesaikannya. Ayah janji ini tahun terakhir asap itu
mengusai negeri kita,” tidak. Ayah bohong. Ia selalu berbicara seperti itu. Tapi apa?
Tiap tahun asap itu terus muncul, menguasai kota hingga mengubah kata bertuah
menjadi berasap. Dan ...alat canggih yang ayah janjikan tak kunjung selesai.
Hanya hujan yang penjadi harapan, sayangnya asap selalu hadir bersamaan dengan
kemarau.
“Aku ingin disini saja. Sebaiknya
ayah selesaikan saja alat canggih itu,”
“Tapi ...”
“Ayah, sampai kapan kita mau kabur?
Oke, kita bisa melarikan diri saat asap. Tapi saudara-saudara kita yang lain?
Penduduk negeri ini yang lain? Apa ayah tega membiarkan mereka mati tercekik dalam
dekapan asap yang kian erat?” Aku berjalan kemudian duduk di tepian ranjang.
“Sebenarnya kita tak perlu menciptakan teknologi canggih, kita cukup menyadarkan
pelaku pembakaran hutan itu. Jika tak ada yang membakar hutan, pasti tak ada
asap.”
Ponsel ayah berdering. Ayah member isyarat
ke arahku kemudian berjalan keluar dari kamarku untuk mengangkat ponsel.
***
BOSAN. Sudah satu minggu lebih
kuliah diliburkan. Asap justru semakin parah. Hujan yang diharapkan takkunjung
muncul. Hujan buatanpun tak membawakan hasil. Mungkin Allah marah dan ingin
manusia sadar.
Asap yang mengandung partikulat
berbahaya tersebut masuk tanpa izin hingga ke kamarku. Kandungan karbon
monoksidanya yang terhirup kemudian
berikatan kuat dengan hemoglobin dalam darahku, membuat hemonglobin tak dapat
mengikat oksigen dan menyebabkan aku kesulitan bernapas. Belum lagi kandungan nitrogen
oksida dan ozon yang tak kalah membahayakan.
Aku masih tergolek lemah di atas
tempat tidur. Beberapa botol obat di meja dekat ranjang sudah menjadi konsumsi
wajib seminggu ini. Batukku kian parah. Kali ini beruntun hingga wajahku terasa
memerah. Panas. Mataku perih. Ini tahun pertama aku bertahan di kotaku kala
kabut asap, dan rasanya ...sakit. Tersiksa. Sekarang aku bisa merasakan apa
yang dirasakan orang-orang yang memenuhi rumah sakit karena ISPA tersebut.
“Ia akan sembuh kan, dok?” Tanya
ayah pada dokter usai dokter tersebut memeriksaku.
Kuperhatikan mulut dokter itu
terbuka hendak menjawab. Batukku hadir lagi. Mulut dokter tersebut tertutup dan
mereka beralih melihatku. Aku berusaha menghentikan batukku agar dokter itu
dapat menjawab pertanyaan ayah.
“Ia terserang ISPA. Saya khawatir ia
akan mengidap penyakit paru. Pada kondisi kronis yang menahun, penyakit ISPAnya
akan mengakibatkan penyakit paru obstruksi kronis atau bisa menjurus ke kanker
paru-paru.”
Dadaku sesak. Kali ini bukan karena
asap, tapi karena penjelasan dokter yang membuat air liurkupun sulit ditelan.
“Separah itukah, dok?” Dokter
mengangguk. Aku rasa, tak hanya aku yang baru sadar bahwa asap yang menjadi
musim tahunan ini ternyata berdampak separah itu, aku yakin ayah juga baru
sadar, terlihat dari wajahnya yang kusut dan raut kecewa dari kepalan tangannya
yang jatuh terlepas.
Dokter itu kemudian pamit pergi. Ayah
tak mengantarkan dokter itu pergi. Ayah justru memelukku erat. Amat erat. Namun
tak mampu mengalahkan pelukan asap yang telah mencekikku saat ini.
“Maafkan ayah, Syafa,” bisik ayah.
Aku tersenyum tipis. Tidak. Ini bukan salah ayah. Aku tahu membuat teknologi canggih
penghilang asap itu tak mudah, meskipun ayah adalah seorang ilmuan hebat.
Ponsel ayah berdering. Ayah melepas
pelukannya dan meminta izin padaku untuk beranjak keluar beberapa waktu. Aku
mengangguk.
Batuk itu datang lagi. Kulihat tak
ada air di mejaku. Dengan lemas aku memutuskan keluar kamar. Langkahku terhenti
dari balik pintu kamar yang terbuka sedikit.
“Bodoh! Apapun yang terjadi aku mau
kalian segera buat hujan! Lakukan yang terbaik! Jangan sampai jejak kita sebagai
pembakar lahan itu terlihat! Anakku sakit, bagaimana aku bisa pergi? Tidak,
polisi takkan mengira aku. Aku ilmuan Negara. Mereka percaya padaku. Sudah
kerjakan saja. Teknologi ini juga kuciptakan agar pembakaran hutan tak lagi
menimbulkan masalah. Pekerjaan kita menjadi lebih mudah. Kerjakan saja!”
Kakiku tak sanggup lagi berdiri.
Apa? Apa yang baru saja kudengar? Ayah membuat penawar untuk racunnya sendiri?
Ayahku? TIDAK.
Air itu mengucur keluar. Terduduk. Bersandar
pada dinding. Terbatuk. Pintu kamarku terbuka. Kutatap nanar ke arah ayah yang
berdiri di hadapanku. Ayah tertunduk. Kurasa dia mengerti kalau aku telah
mendengar semuanya.
“Ayah ...” ia mengangkat tubuhku
berdiri. Aku masih menatapnya dengan tatapan yang sama. Air di pipi itu juga
tak kuseka.
Ia membobongku hingga ke ranjang. Aku
masih menatapnya. Menangih sebuah penjelasan. Ayah memelukku. Ia berbisik
pelan, “maafkan ayah, Syafa,” aku terbatuk. Ingin aku marah. Melepaskan pelukan
ayah dengan kasar. Membentak laki-laki tua itu. Mengomelinya. Tapi tubuhku
begitu lemas. Batuk beruntun itu membuat aku sukar berbicara lebih banyak. Napasku
tak terkendali hingga semua berakhir kelam.
Kemudian, samar kulihat wajah ayah.
Beberapa polisi berdiri di belakangnya. Terdengar rintik hujan di luar sana.
0 komentar:
Posting Komentar