RSS

Hujan Bawa Pelangi



“Kau suka?” Suara yang tak asing itu membuat kepalanya berputar. Menoleh kearah pintu masuk.
“Itu apa?” Ia memandang langit-langit ruang rawatnya. Melihat warna-warna berkumpul membentuk lengkungan yang sangat cantik.
Arsya mengernyitkan dahinya. Ia heran. Sejenak berpikir kemudian menganggukkan kepalanya seolah mengerti sesuatu. “Itu pelangi.”
Gemuruh terdengar. Rasya langsung terlonjak, kemudian histeris. Kedua tangannya menutupi telinga. Ia mengerang seolah ketakutan. Arsya berjalan kearah jendela yang masih ditutup. Ia membuka jendela tersebut, melihat situasi diluar kemudian menutupnya kembali.
“Tenanglah, itu hanya gemuruh. Pakai ini,” Arsya memberikan sepasang penutup telinga. Rasya mulai tenang, memang sejak kejadian itu hanya Arsya yang mampu menenangkannya.
“Aku ada kejutan untukmu, kau pakai ini ya!” Arsya itu memperlihatkan kain hitam penutup mata.
“Kau tidak sedang mengerjaiku, kan?”
Arsya tertawa. “Sungguh, tidak. Ini kejutan, karena itu kau harus memakai ini. Kau mau ya?” Rasya mengangguk. Arsya memasangkan kain hitam itu, menutupi mata Rasya. Kemudian Arsya membimbing Rasya keluar dari ruang rawat. Melewati koridor. Beberapa pasiens rumah sakit silih bergantian mengganggu Rasya dan Arsya, tapi Arsya berusaha melindungi Rasya. Ibu yang membawa boneka, paman tua yang sibuk membaca pidato, dan pasiens lainnya yang telah kehilangan kewarasan mereka itu selalu terlihat tertawa dan berbicara sendiri.
Mereka berdiri dibawah payung biru tua milik Arsya. “Kau siap?”
“Tentu,” Arsya membukakan penutup mata Rasya. Rasya tertekun. Ia melihat hujan turun. Begitu payung biru tua itu disingkirkan oleh Arsya, Rasya tersadar kalau sekarang ia berada dibawah rintik hujan. Wajahnya memucat. Ia panik dan mulai histeris. Ketika kakinya hendak mengambil langkah pergi, tangan Arsya menahannya. Arsya menatap Rasya dalam. “Tak seburuk itu, yakinlah. Pejamkan matamu, rasakan setiap rintiknya meluruhkan masalahmu. Tidak semenyeramkan itu, ada aku disini. kau tak sendiri,” tatapan teduh Arsya membuat tubuh rasya kaku. Ia mematung dan membisu. Ia memejamkan matanya. Arsya membuka penutup telinga Rasya.
Ia merasakan tiap rintik yang mengenai tubuhnya. Ia mendengar nada-nada indah dari tiap rintik yang mengabdi pada bumi. Pikirannya kemudian melayang, pada kejadian 16 tahun lalu, saat ia baru berusia 4 tahun. Ayahnya berjalan mengambil sepatunya yang terjatuh ditengah jalan. ayahnya terseyum menganggkat sepatu itu. Dengan riangnya ia memanggil-manggil ayahnya dari pinggir jalan tempat ayahnya membawanya berteduh. Jalanan yang sepi meski hujan masih lebat membuat ayahnya betah berlama-lama dibawah rintik hujan itu. Tapi, seketika... sebuah mobil sedan hitam melaju dengan kencang. Ia membuat matanya membulat menatap tubuh ayahnya melayang lalu tersungkur pada aspal basah. Ikut teperanjat. Ngilu. Sesak. Ia berlari. Mobil itu melaju pergi.
“Ayah!!!” Teriaknya, langkah mungilnya semakin mendekat ke tubuh ayah yang tergeletak bermandikan gumpalan-gumpalan darah segar yang meluruh terkena air hujan.
Seketika dadanya sesak. Tapi matanya masih terpejam. Rintik-rintik itu perlahan jatuh semakin sedikit, kemudian menghilang. Ia membuka matanya. Di lihatnya wajah Arsya tersenyum.
 “Tak seburuk yang kau kira, bukan? Kau tahu, hujan itu mengajari kita luka, namun juga menyembuhkan luka, dan ia hadir sebagai jembatan menuju kebahagian yang nyata. Lihat itu, kebahagianmu telah datang!” Arsya menunjuk langit. Ada pelangi disana. Rasya tersenyum.

Arsya tersenyum melihat senyum Rasya. Akhirnya janji 16 tahun lalu bisa ia tepati. “Maafkan ayahku, Rasya.” gumamnya dalam hati.


*Telah Terbit dalam Buku Kumpulan Cerpen Hujan Bercerita oleh Boneka Lilin

0 komentar:

Posting Komentar