RSS

Keep Smile :)

Ketika langitmu hitam,
tersenyumlah
sebab masih ada bintang dan rembulan
Ketika Langitmu menangis, tersenyumlah
Sebab akan ada pelangi setelahnya
Ketika Mentarimu dibawa senja,
tersenyumlah
Sebab pagi kan membawanya kembali
Hidup jangan sekedar dijalani, tapi juga dinikmati ^_^

Vakum sementara di bulan Oktober yaaa, kejar tayang event :D
smile emotikon

Pengendali Asap



            Pekanbaru kota bertuah. Kurasa kalimat itu perlu diganti. Kalimat yang lebih bagus adalah ...Pekanbaru kota berasap. Yap!
            Dari balik kaca helm aku melihathamparan jalan yang panjang. Kali ini aku mengendarai motorku dengan kecepatan dibawah standard. Biasanya kecepatan itu  digunakan ketika melewati jalan asing. Jalan yang belum pernah aku lalui atau hanya beberapa kali saja aku lalui. Alasannya sederhana, sebab aku belum hafal benar tentang dimana lobang dan arus kemacetannya. Jadi harus hati-hati, pesan ayah begitu. Namun, ini bukanlah jalan asing, akantetapi jalan yang selalu aku lewati sepulang  kampus. Sayang, kini tlah menjadi asing.
            Dulu, aku bisa melihat jauh. Jauh hingga keujung sana. Melihat bangunan tinggi di ujung jalan dekat persimpangan lampu merah itu. Namun, sekarang? Semua tak sejauh dulu. Tak sampai seratus meter jaraknya, semua telah menjadi putih. Hanya tinggal bayang-bayang yang hanya akan semakin jelas bila jaraknya semakin dekat. Aku masih mengendarai motorku. Sesekali mataku melirik trotoar. Jajaran masker dengan beragam bentuk di perdagangkan sepanjang trotoar. Miris.
            Aku menelan ludah. Dari balik masker bertipe N-95 aku menghirup udara yang tak lagi segar. Kemudian mataku terusik oleh beberapa anak kecil berlarian di depan pertokoan tanpa mengenakan masker. Hatiku teriris melihatnya. Mungkin tidak sekarang anak-anak itu merasakan dampaknya. Tapi nanti, kata ayah begitu. Tak hanya itu, orang-orang yang kulihat sepanjang jalan tlah menjadi ninja. Kain beragam hiasan itu menutupi hidung dan mulut mereka. Sadarkah? Masker jenis itu tak sepenuhnya mampu melindungi mereka. Ayah bilang, masker kain kasa tak mempan menyaring partikulat berbahaya itu, sebaiknya memakai masker tipe N-95. Tapi tak semua orang paham itu bukan? utuh sosialisasi lebih lanjut, sayangnya ayah tak mau mesosialisasikannya.
            Aku akhirnya sampai di rumah. Rumah bertingkat dua sekelas pejabat yang menjadi hunian keluargaku. Keluarga? Haha, tidak. Tidak benar-benar keluarga sejak ibu menggugat cerai ayah dan hak asuhku jatuh ketangan ayah. Waktu itu usiaku sepuluh tahun dan aku belum amat mengerti alasannya. Bahkan hingga saat ini tak ada yang mau menjelaskan alasannya. Yang kutahu, kata ibu, ibu tak tahan bersama ayah. Ayah orang jahat. Tapi, dimataku, ayah tak jahat. Ayah ilmuan hebat yang baik hati. Bahkan sudah tiga tahun ayah bergulat di laboratoriumnya, mencari absoben yang dapat menyerap asap untuk menciptakan teknologi canggih yang bisa mengatasi masalah asap di Pekanbaru ini. Ya, sebentar lagi ayah akan dinobatkan sebagai pengendali asap bila alat canggih yang diciptakannya berhasil.
            “Pergi dengan motor lagi? Sudah tahu asap. Kenapa tidak bawa mobil?” Tegur ayah begitu aku memarkirkan motor matik kesayanganku di garasi.
            “Ayahkan tahu Syafa nggak suka bawa mobil. Lagipula, mobil ataupun motor sama saja. Sama-sama tidak bisa membuat Syafa bernapas dengan udara segar, bukan? Lagi pula syafa sudah pakai masker, ayah. Jangan terlampau khawatir.”
            Ayah menggeleng dengan jawabanku. Ia berbalik dan mengambil langkah meninggalkanku.
            “Ayah!” Panggilku. “Maafin, Syafa ya,” lanjutku menunduk.  aku melihat ayah. Aku suduah banyak melawan laki-laki dengan rambut yang hampir memutih secara keseluruhan itu. Ia pasti lelah bekerja sendirian. Sejak ibu pergi ayah menjadi ibu sekaligus ayah untukku. Ayah yang terbaik.
            Ayah tersenyum lembut. “Kamu nggak salah. Oh ya, tumben pulang kampusnya cepat?”
            “Kuliah diliburkan karena asap, Yah. Asapnya makin tebal. Makin parah,” aku membuka maskerku kemudian terbatuk.
            “Ya sudah, cepat cuci muka. Minum air mineral banyak-banyak, jangan lupa makan buah. Kita akan pergi berlibur, ayah akan pesan tiket untuk kita ke ...”
            “Kyoto!” Potongku bersemangat. Kyoto, Jepang. Aku suka tempat itu. Terasa tentram dan damai. Bebas macet dan bebas polusi. Tiap asap mulai parah hingga libur kuliah dan sebelum bandara ditutup ayah selalu mengajakku ke sana. Tempat pelarian yang indah!
            Ayah mengangguk setuju. Aku mengepal kedua tanganku dan berseru riang. Cepat aku berlari menaiki anak tangga menuju kamar. Bersiap-siap.
            Koperku sudah selesai. Semua yang harus dibawa sudah siap. Kulihat keluar jendela kamar. Jendela kamarku saja berdebu sebab asap. Pohon yang biasanya tampak kini tak lagi tampak. Hanya pohon ketapang yang berjarak dekat dari jendela tersebut yang terlihat. Daunnya menguning. Selain karena memang tengah musim kemarau, aku yakin daun itu juga lebih cepat menguning disebabkan polusi udara, seorang dosen pernah berkata bahwa ketapang adalah pohon yang amat sensitif terhadap pengaruh cuaca. Kemudian sebuah pemikiran asing terlintas di benakku.
            Suara pintu kamar yang dibuka memecahkan pikiran asing tersebut. “Sudah siap?” Tanya ayah di ambang pintu.
            “Ayah, penelitian ayah bagaimana? Teknologi penghilang asap itu sudah jadi?”
            Ayah menggeleng. “Nanti sepulang dari Kyoto ayah akan menyelesaikannya. Ayah janji ini tahun terakhir asap itu mengusai negeri kita,” tidak. Ayah bohong.  Ia selalu berbicara seperti itu. Tapi apa? Tiap tahun asap itu terus muncul, menguasai kota hingga mengubah kata bertuah menjadi berasap. Dan ...alat canggih yang ayah janjikan tak kunjung selesai. Hanya hujan yang penjadi harapan, sayangnya asap selalu hadir bersamaan dengan kemarau.
            “Aku ingin disini saja. Sebaiknya ayah selesaikan saja alat canggih itu,”
            “Tapi ...”
            “Ayah, sampai kapan kita mau kabur? Oke, kita bisa melarikan diri saat asap. Tapi saudara-saudara kita yang lain? Penduduk negeri ini yang lain? Apa ayah tega membiarkan mereka mati tercekik dalam dekapan asap yang kian erat?” Aku berjalan kemudian duduk di tepian ranjang. “Sebenarnya kita tak perlu menciptakan teknologi canggih, kita cukup menyadarkan pelaku pembakaran hutan itu. Jika tak ada yang membakar hutan, pasti tak ada asap.”
            Ponsel ayah berdering. Ayah member isyarat ke arahku kemudian berjalan keluar dari kamarku untuk mengangkat ponsel.
***
            BOSAN. Sudah satu minggu lebih kuliah diliburkan. Asap justru semakin parah. Hujan yang diharapkan takkunjung muncul. Hujan buatanpun tak membawakan hasil. Mungkin Allah marah dan ingin manusia sadar.  
            Asap yang mengandung partikulat berbahaya tersebut masuk tanpa izin hingga ke kamarku. Kandungan karbon monoksidanya yang terhirup  kemudian berikatan kuat dengan hemoglobin dalam darahku, membuat hemonglobin tak dapat mengikat oksigen dan menyebabkan aku kesulitan bernapas. Belum lagi kandungan nitrogen oksida dan ozon yang tak kalah membahayakan.
            Aku masih tergolek lemah di atas tempat tidur. Beberapa botol obat di meja dekat ranjang sudah menjadi konsumsi wajib seminggu ini. Batukku kian parah. Kali ini beruntun hingga wajahku terasa memerah. Panas. Mataku perih. Ini tahun pertama aku bertahan di kotaku kala kabut asap, dan rasanya ...sakit. Tersiksa. Sekarang aku bisa merasakan apa yang dirasakan orang-orang yang memenuhi rumah sakit karena ISPA tersebut.
            “Ia akan sembuh kan, dok?” Tanya ayah pada dokter usai dokter tersebut memeriksaku.
            Kuperhatikan mulut dokter itu terbuka hendak menjawab. Batukku hadir lagi. Mulut dokter tersebut tertutup dan mereka beralih melihatku. Aku berusaha menghentikan batukku agar dokter itu dapat menjawab pertanyaan ayah.
            “Ia terserang ISPA. Saya khawatir ia akan mengidap penyakit paru. Pada kondisi kronis yang menahun, penyakit ISPAnya akan mengakibatkan penyakit paru obstruksi kronis atau bisa menjurus ke kanker paru-paru.”
            Dadaku sesak. Kali ini bukan karena asap, tapi karena penjelasan dokter yang membuat air liurkupun sulit ditelan.
            “Separah itukah, dok?” Dokter mengangguk. Aku rasa, tak hanya aku yang baru sadar bahwa asap yang menjadi musim tahunan ini ternyata berdampak separah itu, aku yakin ayah juga baru sadar, terlihat dari wajahnya yang kusut dan raut kecewa dari kepalan tangannya yang jatuh terlepas.
            Dokter itu kemudian pamit pergi. Ayah tak mengantarkan dokter itu pergi. Ayah justru memelukku erat. Amat erat. Namun tak mampu mengalahkan pelukan asap yang telah mencekikku saat ini.
            “Maafkan ayah, Syafa,” bisik ayah. Aku tersenyum tipis. Tidak. Ini bukan salah ayah. Aku tahu membuat teknologi canggih penghilang asap itu tak mudah, meskipun ayah adalah seorang ilmuan hebat.
            Ponsel ayah berdering. Ayah melepas pelukannya dan meminta izin padaku untuk beranjak keluar beberapa waktu. Aku mengangguk.
            Batuk itu datang lagi. Kulihat tak ada air di mejaku. Dengan lemas aku memutuskan keluar kamar. Langkahku terhenti dari balik pintu kamar yang terbuka sedikit.
            “Bodoh! Apapun yang terjadi aku mau kalian segera buat hujan! Lakukan yang terbaik! Jangan sampai jejak kita sebagai pembakar lahan itu terlihat! Anakku sakit, bagaimana aku bisa pergi? Tidak, polisi takkan mengira aku. Aku ilmuan Negara. Mereka percaya padaku. Sudah kerjakan saja. Teknologi ini juga kuciptakan agar pembakaran hutan tak lagi menimbulkan masalah. Pekerjaan kita menjadi lebih mudah. Kerjakan saja!”
            Kakiku tak sanggup lagi berdiri. Apa? Apa yang baru saja kudengar? Ayah membuat penawar untuk racunnya sendiri? Ayahku? TIDAK.
            Air itu mengucur keluar. Terduduk. Bersandar pada dinding. Terbatuk. Pintu kamarku terbuka. Kutatap nanar ke arah ayah yang berdiri di hadapanku. Ayah tertunduk. Kurasa dia mengerti kalau aku telah mendengar semuanya.
            “Ayah ...” ia mengangkat tubuhku berdiri. Aku masih menatapnya dengan tatapan yang sama. Air di pipi itu juga tak kuseka.
            Ia membobongku hingga ke ranjang. Aku masih menatapnya. Menangih sebuah penjelasan. Ayah memelukku. Ia berbisik pelan, “maafkan ayah, Syafa,” aku terbatuk. Ingin aku marah. Melepaskan pelukan ayah dengan kasar. Membentak laki-laki tua itu. Mengomelinya. Tapi tubuhku begitu lemas. Batuk beruntun itu membuat aku sukar berbicara lebih banyak. Napasku tak terkendali hingga semua berakhir kelam.

            Kemudian, samar kulihat wajah ayah. Beberapa polisi berdiri di belakangnya. Terdengar rintik hujan di luar sana.

Dewi Bertuah


Dewi Bertuah terjaga dari tidur panjangnya, tiba-tiba saja ada sebuah gumpalan asap membawa tubuhnya melayang terbang. Ternyata asap itu membawa dewi berjalan-jalan melihat negerinya dari atas awan.
Dari atas awan, negeri Bertuah yang terletak dibagian barat Indonesia itu terlihat sudah tak layak huni, rakyatnya sudah berubah menjadi ninja-ninja, rumah sakit dipenuhi oleh pasiens yang terkena nggangguan pernapasan, dewi Bertuah meneteskan air mata. Kemudian asap berbentuk casper itu menurunkannya disebuah tempat asing.
Dewi bertuah menangis, hatinya tersayat. Pepohonan di hutan itu telah habis dimakan api, dan asap terus saja dihasilkan karena api takkunjung padam.
“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya dewi Bertuah pada gumpalan asap itu.
“Pergilah ke langit, minta hujan kepada dewa langit. Hanya hujan yang bisa membuat negerimu kembali seperti sedia kala,” dewi Bertuah menganggguk, ia kemudian pamit untuk terbang ke langit.
Di langit, dewa langit ternyata enggan bertemu dengan dewi Bertuah. Dewa langit telah marah besar karena geram akan ulah makhluk negeri Bertuah, dan memilih diam, tapi dewi Bertuah tak berputus asa, dia berjuang dan terus berbicara kepada dewa langit, meski tiap kata yang diucapkannya tak digubris sedikitpun oleh dewa langit.
“Bila memang engkau enggan menangis untuk negeriku, aku rela melakukan apa saja agar hujan itu turun. Ini salahku, aku telah tertidur begitu lama, hingga aku tak bisa menjaga negeriku dengan baik, jadi aku mohon beri aku cara agar hujan itu turun, agar rakyatku yang tak berdosa tak kena imbasnya, aku mohon dewa langit.”
“Hanya ada satu cara,” akhirnya, dewa langit angkat bicara. “Hujan bisa turun, dengan menjadikan tubuhmu sebagai bulirnya,” lanjut dewa langit.
“Maksudmu?”
“Kau akan mati, Negeri Bertuah takkan lagi memiliki dewi, tapi kau tenang saja, kau diberi satu sumpah, dimana sumpah itulah yang akan menjadi penjaga negerimu.” Dewi Bertuah berpikir sangat lama, hingga akhirnya ia mengangguk, kemudian bersumpah, “Aku bersumpah, bagi siapapun yang merusak negeri Bertuah, ia akan bernasib serupa sepertiku.” usai mengucapkan sumpah itu, tubuh dewi Bertuah langsung berubah menjadi bulir-bulir hujan. Negeri Bertuah sudah tak lagi diselimuti kabut, semua rakyat di negeri itu bersorak gembira.
Sekarang, rakyat di negeri itu tak ada lagi yang berani melakukan pembakaran hutan, hal tersebut dikarenakan adanya kejadian aneh, dimana, ketika setiap orang hendak membakar hutan, hujan akan turun dan orang tersebut langsung meleleh, ikut melebur menjadi bulir-bulir hujan.

*Telah terbit dalam buku kumpulan cerpen Anak bersama Bintang Pelangi

Dalam Dekapan Asap



Biru langit berganti putih
Pohon hijau tampak samar
semakin jauh semakin tenggelam dalam putih
bukan salah kornea
tapi salah dosa tangan manusia
tega menyelimuti kota dengan kabut derita

bodoh keledai
bodoh lagi manusia
insan berakal yang tak lagi peka

kini siapa sangka?
banyak nyawa lenyap sia-sia
pakaian ninja tiada guna

sebab dekapan  asap tanpa cinta

Hujan Bawa Pelangi



“Kau suka?” Suara yang tak asing itu membuat kepalanya berputar. Menoleh kearah pintu masuk.
“Itu apa?” Ia memandang langit-langit ruang rawatnya. Melihat warna-warna berkumpul membentuk lengkungan yang sangat cantik.
Arsya mengernyitkan dahinya. Ia heran. Sejenak berpikir kemudian menganggukkan kepalanya seolah mengerti sesuatu. “Itu pelangi.”
Gemuruh terdengar. Rasya langsung terlonjak, kemudian histeris. Kedua tangannya menutupi telinga. Ia mengerang seolah ketakutan. Arsya berjalan kearah jendela yang masih ditutup. Ia membuka jendela tersebut, melihat situasi diluar kemudian menutupnya kembali.
“Tenanglah, itu hanya gemuruh. Pakai ini,” Arsya memberikan sepasang penutup telinga. Rasya mulai tenang, memang sejak kejadian itu hanya Arsya yang mampu menenangkannya.
“Aku ada kejutan untukmu, kau pakai ini ya!” Arsya itu memperlihatkan kain hitam penutup mata.
“Kau tidak sedang mengerjaiku, kan?”
Arsya tertawa. “Sungguh, tidak. Ini kejutan, karena itu kau harus memakai ini. Kau mau ya?” Rasya mengangguk. Arsya memasangkan kain hitam itu, menutupi mata Rasya. Kemudian Arsya membimbing Rasya keluar dari ruang rawat. Melewati koridor. Beberapa pasiens rumah sakit silih bergantian mengganggu Rasya dan Arsya, tapi Arsya berusaha melindungi Rasya. Ibu yang membawa boneka, paman tua yang sibuk membaca pidato, dan pasiens lainnya yang telah kehilangan kewarasan mereka itu selalu terlihat tertawa dan berbicara sendiri.
Mereka berdiri dibawah payung biru tua milik Arsya. “Kau siap?”
“Tentu,” Arsya membukakan penutup mata Rasya. Rasya tertekun. Ia melihat hujan turun. Begitu payung biru tua itu disingkirkan oleh Arsya, Rasya tersadar kalau sekarang ia berada dibawah rintik hujan. Wajahnya memucat. Ia panik dan mulai histeris. Ketika kakinya hendak mengambil langkah pergi, tangan Arsya menahannya. Arsya menatap Rasya dalam. “Tak seburuk itu, yakinlah. Pejamkan matamu, rasakan setiap rintiknya meluruhkan masalahmu. Tidak semenyeramkan itu, ada aku disini. kau tak sendiri,” tatapan teduh Arsya membuat tubuh rasya kaku. Ia mematung dan membisu. Ia memejamkan matanya. Arsya membuka penutup telinga Rasya.
Ia merasakan tiap rintik yang mengenai tubuhnya. Ia mendengar nada-nada indah dari tiap rintik yang mengabdi pada bumi. Pikirannya kemudian melayang, pada kejadian 16 tahun lalu, saat ia baru berusia 4 tahun. Ayahnya berjalan mengambil sepatunya yang terjatuh ditengah jalan. ayahnya terseyum menganggkat sepatu itu. Dengan riangnya ia memanggil-manggil ayahnya dari pinggir jalan tempat ayahnya membawanya berteduh. Jalanan yang sepi meski hujan masih lebat membuat ayahnya betah berlama-lama dibawah rintik hujan itu. Tapi, seketika... sebuah mobil sedan hitam melaju dengan kencang. Ia membuat matanya membulat menatap tubuh ayahnya melayang lalu tersungkur pada aspal basah. Ikut teperanjat. Ngilu. Sesak. Ia berlari. Mobil itu melaju pergi.
“Ayah!!!” Teriaknya, langkah mungilnya semakin mendekat ke tubuh ayah yang tergeletak bermandikan gumpalan-gumpalan darah segar yang meluruh terkena air hujan.
Seketika dadanya sesak. Tapi matanya masih terpejam. Rintik-rintik itu perlahan jatuh semakin sedikit, kemudian menghilang. Ia membuka matanya. Di lihatnya wajah Arsya tersenyum.
 “Tak seburuk yang kau kira, bukan? Kau tahu, hujan itu mengajari kita luka, namun juga menyembuhkan luka, dan ia hadir sebagai jembatan menuju kebahagian yang nyata. Lihat itu, kebahagianmu telah datang!” Arsya menunjuk langit. Ada pelangi disana. Rasya tersenyum.

Arsya tersenyum melihat senyum Rasya. Akhirnya janji 16 tahun lalu bisa ia tepati. “Maafkan ayahku, Rasya.” gumamnya dalam hati.


*Telah Terbit dalam Buku Kumpulan Cerpen Hujan Bercerita oleh Boneka Lilin