Sudah
siang. Matahari sudah di atas kepala. Panas matahari terasa dari tempat aku
berdiri, di lantai paling atas gedung kuliahku, lantai tanpa atap. Tapi entah
mengapa rasanya aku kebal dengan panas itu, karena sekitarku tak terlihat seperti
siang, melainkan seperti suasana pagi dipenuhi embun. Aku menatap jauh. Kurasa
pandanganku cukup jauh, tapi mengapa hanya yang dekat yang terlihat? Mengapa di
ujung sana semuanya berubah menjadi putih? Kutarik napas panjang. Aku terbatuk.
“Kemarin
kudengar berita Pekanbaru sudah tak layak huni,” suara seseorang muncul
seketika beradu dengan suara tapak langkahnya mendekatiku. Aku menoleh, lelaki
dengan tinggi 167cm itu berdiri disampingku.
Aku
berdehem dalam tatapan terus ke depan tanpa menoleh ke arahnya. Ia tak bersuara
beberapa saat, kemudian ia bertanya, “Kamu bahagia?” Aku terhenyak, apa maksud
pertanyaannya? Mengapa ia bisa bertanya seperti itu? Bukankah itu pertanyaan
bodoh? Siapa orang yang bahagia bila tempat tinggalnya dikatakan tak layak huni?
Apa ini karena...
“Bahagia?
Karena kuliah diliburkan hingga cuaca membaik?” Tebakku berpikir. Beberapa jam
yang lalu Rektor Universitas memang sudah mengeluarkan woro-woro bahwasannya
kuliah diliburkan selama satu minggu hingga cuaca membaik.
Ia
menyengir. Sedikit tergelak lalu berkata, “Bukan. Ini tentang kata-kata saat
pertama kali kita bertemu,” ha? Apa maksud laki-laki ini? Kata-kata saat pertama
kali aku bertemu dengannya? Kata-kata apa yang kuucapkan? Bukankah aku bertemu
dengannya pertama kali setengah tahun yang lalu? Saat kami terjebak hujan di gedung
kuliah
“Kamu
lupa?” Tanyanya lagi. Aku berpikir sejenak.
***
Tubuhku
bersandar lemas pada tembok. Kaki ku lunglai, tapi enggan terduduk lemas. Aku
menatap murka tiap rintik yang mengotori bumi itu. Tapi sepertinya tatapan
murka itu justru terlihat sebagai tatapan penuh penderitaan akibat sebuah
kezaliman. Sudah berulang kali aku melirik jam dipergelangan tanganku, tapi
hujan tak kunjung reda.
“Belum
pulang?” Suara berat itu terdengar, sepertinya itu suara untukku. Aku menoleh,
kulihat bang... ah aku lupa namanya, yang pasti dia bukanlah senior yang satu
jurusan denganku.
“Heh!
Kok ngelamun lagi?” Suara kembali terdengar, membuyarkan semua pikiran yang
memenuhi benakku. Aku tergagap, kemudian menjawab dengan nada datar, “Hujan.”
Ia
justru tertawa mendengar jawabanku. Apa ada yang lucu dari sebuah jawaban hujan
dengan nada datar?
“Mau
ditunggu sampai kapan?” Jeda sejenak, tanpa menunggu jawabanku ia kembali
berkata, “Hujan kaya gini biasanya awet,” aku menoleh menatapnya. “Jadi?”
Ia
kembali tertawa. Oh tidak, aku bukan badut, bukan? Mengapa ia selalu tertawa? Apa
ia sudah terlalu stress dengan kuliahnya hingga hal-hal yang tak lucu menjadi
lucu?
“Ya
pulanglah, hujan-hujanan.”
Aku
terdiam. Ada hal yang selalu tak ingin kusampaikan, hal yang menjadi alasan
terbesarku membenci hujan. “Kenapa? Kita nggak garamkan? Jadi kenapa harus
takut hujan?”
Aku
terdiam. Haruskah aku memberitahukan hal rahasia itu kepada laki-laki yang baru
kukenal ini? Tapi... aku sudah terlampau bosan melihat ekspresinya yang akan
sama dengan orang-orang sebelumnya. Aku berpikir ulang, bilapun aku tak
menyampaikannya sekarang, toh kemudian hari pasti akan terungkap juga, seperti
dulu sewaktu SMA.
“Saya
sensitive dengan hujan, bang. Bila terkena hujan bisa langsung demam,” jawabku
jujur. Ia tertawa, kali ini terbahak-bahak. Ia bahkan sulit menghentikan
tawanya untuk melontarkan sebuah kata. Sudah kuduga, setiap orang akan selalu
tertawa mendengar jawaban jujurku itu. “Bang, saya serius!” Aku memasang wajah
kesal agar ia segera menghentikan tawanya. Ia berusaha menghentikan tawanya, kemudian
membuka mulutnya dan berkata, “Sudah sejak kecil?” Aku mengangguk.
“Tak
sampai membuat kamu tidak suka dengan hujankan?”
“Itu
alasan utama mengapa saya tak menyukai hujan, bang. Alasan selanjutnya adalah
banyaknya kesialan yang terjadi karena hujan. Hujan itu bencana!”
Ia
tersenyum. “Coba deh kamu baca di al-qur’an, berulang kali Allah menyatakan
hujan itu rahmat, kebencian kamu saja yang membuatnya menjadi bencana,” aku menyulam
senyum, tak kuduga ia bisa berkata-kata serius, dari penampilannya ia bukan
laki-laki yang alim, tapi kata-katanya...aku suka.
***
“Hei!”
Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku mengerti maksud laki-laki ini. Aku menatap
wajahnya yang tengah melihatku, lalu melirik jarum jam yang melingkar
dipergelangan tanganku, kemudian mengambil langkah pergi meninggalkannya tanpa
pamit. Ia tak mencegahku atau memanggilku. Sudah biasa begitu.
“Kebiasaan,”
kata-kata itu terdengar samar ditelingaku. Aku tersenyum. Kuhentikan langkahku
dan aku menoleh berbalik melihatnya yang belum terlalu jauh dariku, “Sebentar
lagi azan akan berkumandang, Visca ingin bertemu Tuhan dan meminta hujan untuk
segera turun!” Terlihat wajahnya begitu lucu ketika mendengar perkataanku. Ku
lemparkan senyuman kemudian berbalik pergi.
Ini
kali pertama dalam hidupku meminta hujan dalam do’aku, “Ya Allah, aku tak
peduli seberapa benci aku pada hujan, seberapa murka aku pada hujan, seberapa
sering aku meminta hujan tak pernah ada dalam hidupku, yang aku pedulikan saat
ini adalah kotaku, bencana itu tak kunjung teratasi, justru semakin parah saja,
hujan buatan sudah beberapa kali dibuat, tapi tak juga menyelesaikan. Pasiens
karena gangguan pernapasan diberbagai rumah sakit di kotaku semakin banyak. Penduduk
kotaku juga telah menjadi ninja belakangan ini, aktivitas kami terhambat. Ya
Allah, turunkanlah rahmatmu, padamkanlah api penyebab kabut asap tersebut, aku
mohon,” bulir air mata terasa mengalir.
***
Aku
tengah terbaring santai di atas ranjang sembari mengotak atik ponselku. Tak
sengaja saat aku membuka pemberitahuan di akun BBM-ku, kulihat seseorang
memasang gambar berisikan ayat yang terjemahannya, “Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata, yang
meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. (QS. Ad-Dukhaan 44:10-11)” aku
tersentak membaca ayat itu, sangat sesuai dengan apa yang terjadi dengan kotaku
saat ini.
“Ya
Allah? Inikah azab yang kau maksud?”
Aku
memejamkan mataku. Aku benar-benar merasa hina dan berdosa. Rasanya dosaku jauh
lebih tebal dari kabut asap yang tengah menyelimuti kotaku. Kata-kata murkaku
pada hujan terngiang-ngiang ditelingaku, tak henti-hentinya aku beristighfar.
***
Ketika
membuka akun BBM di pagi hari, kulihat banyak
sekali status-status bahagia tentang hujan. Aku terheran, kapan hujan turun? Mengapa
aku tak menyadarinya?
“Ma!
Ma! Panggilku bangkit dari ranjang mencari mama, “Ma, hujan sudah turun ya? Kapan?”
Tanyaku penasaran.
“Tadi
malam. Kamunya sih tidurnya mati, sampai nggak kedengaran hujan turun,” ledek
mama. Aku mengernyitkan dahi tak percaya. Tiba-tiba terdengar suara
rintik-rintik.
“Hujannya
datang lagi!!!” Aku begitu antusias. Aku langsung berlari keluar rumah,
kupandangi rintik hujan yang turun, perlahan kemudian deras. Tahukah? Ini
adalah kali pertama hatiku begitu bahagia melihat hujan. Mataku berbinar. Rasa
syukur itu kuulang-ulang dalam hati. “Ya Allah, sekarang aku mengerti mengapa
Engkau menyebutnya rahmat.”
“Visca!
Ponselmu berbunyi!” Panggil mama. Aku berlari ke dalam kamar melihat ponselku.
Kulihat pada layarnya terdapat tulisan, “Zidan Calling” aku menekan tombol
hijau sembari membuka jendela kamarku seakan mataku ingin terus saja melihat
hujan.
“Bagaimana
hujannya?”
“Rahmat
yang luar biasa. Aku janji nggak akan membenci kehadirannya lagi. Aku bahagia,
bang!” Jawabku antusias.
“Abang
senag kalau kamu bahagia. Satu hal yang kamu harus tahu, abang sudah selipkan
cinta dalam tiap rintik hujan yang turun untuk kamu, agar hujan itu tak membuat
kamu sakit lagi,” aku tak mengerti maksud kata-kata bang Zidan, “Ha? maksudnya,
bang?” Tak ada jawaban. Suara telpon itu terputus begitu saja. Aku tersenyum.
*Terisnpirasi
dari kisah nyata saat bencana kabut asap di Pekanbaru
0 komentar:
Posting Komentar