RSS

Hati yang Tersentuh

Banyak hal yang dapat menjadi pelajaran dalam hidup. Tak hanya berasal dari sebuah tindak kesalahan. Tak hanya berasal dari tindakan besar. Tapi, bisa saja berasal dari tindakan sederhana yang menggetarkan dada. Kecil memang, namun bermakna.
Tempat itu lebih terlihat seperti rumah pada perumahan tipe 36 bila dilihat dari depan, hanya saja sebuah sepanduk berukuran dua kali satu yang tergantung di depannya membuat rumah itu dikenali sebagai tempat les (bimbel), Bimbel Hati namanya. Bila masuk ke dalam, ternyata di ruang yang seharusnya menjadi ruang tamu, terdapat rak absen, tempat minum (gallon dan gelas),  satu kipas angin, dua meja panjang, dan tergantung dua papan tulis kecil. Ya,  ada dua kelas yang akan diajar, sementara itu terdapat satu kamar yang dilengkapi meja panjang, satu kipas angin, dan papan tulis lengkap dengan alat tulis lainnya. Di ruang seperti kamar itulah ia biasa mengajar, namun sesekali ia juga pernah mengjar di ruang yang seperti ruang tamu itu.
 Ia adalah Anjani, mahasiswi semester lima jurusan Kimia di salah satu Universitas terkemuka di Pekanbaru. Siswanya? beragam, ada siswa SD-hingga SMP. Malam ini jatahnya ia mengajar siswa kelas enam SD. Jam pelajaran dimulai pukul 19.00 dan seharusnya berakhir pukul 20.30 wib, namun sering kali jam pelajaran berakhir lebih cepat karena para siswa kelas enam SD itu tak tahan diajak belajar lebih lama, paling banter mereka tahan hingga pukul 20.00 wib. Mereka adalah tiga serangkai Edo si kecil yang pintar, Arga si gembul yang pemalas, dan Didi si sipit keturunan Cina. Hanya tiga orang? Ya, hanya tiga orang saja murid kelas enam SD yang diajarnya, semula empat, namun orang yang keempat itu memilih untuk berhenti  dan belajar dirumah saja, katanya.
Beberapa waktu lalu Anjani sempat mengintip saat ketiga siswa itu belajar IPA dengan pengajar yang lain, mereka tampak asyik dan seru sekali, tidak ada keluhan seperti saat mereka belajar dengan Anjani, Anjani tentu merasa minder. Ia berpikir, apa cara mengajarnya yang salah?
Ketika ia mengajar kembali ketiga muridnya itu minggu lalu, Anjani melontarkan praduga yang telah bersemayam dalam benaknya, “Eh, kakak pengen nanya deh, mata pelajaran yang paling kalian suka itu apasih?”
“Ipa, kak!” Jawab mereka bertiga serentak. Kompak sekali mereka hingga  mata pelajaran yang paling disukainyapun sama. Anjani menghembuskan napas. Pantas saja, pikirnya.
“Kalau mata pelajaran yang paling ngga kalaian suka?” Lanjut Anjani bertanya.
“Matematika, kak!” Lagi, mereka bertiga menjawab serentak. Anjani hanya ternganga, wajah oval dibalut hijab merah muda itu memancarkan ekspresi kaget bercampur kecewa. Pantas saja mereka tampak tidak betah belajar dengannya, yang ia ajarkan adalah pelajaran matematika, pelajaran yang tidak disukai oleh mereka bertiga.
“Kalo disuruh milih, belajar matematika atau bahasa inggris?”
“Bahasa inggris, kak,” jawab Edo terkekeh. Segitu bencinyakah ia pada matematika?
“Kalo Didi matematika ajalah, kak. Bahasa inggris ndak pandai do,” hati Anjani sedikit tersenyum. Sementara itu Arga masih diam.
“Kalo Arga? Matematika atau Bahasa Inggris?”
“Atau ajalah, kak,” jawab Arga malas.
“Serius,” Anjani memanyunkan bibirnya dengan manja.
“Matematika bahasa inggris?” Ulang Anjani tanpa menyertakan kata atau.
“Tanda tanyanya, kak,” jawab Arga tertawa meledek. Bibir Anjani semakin manyun. “Dua duanya payah,kak” keluh Arga.
Anjani menghela napas, jika sudah kata payah yang terucap ia hanya bisa menghela napas tanpa sanggahan. Sebenarnya ia ingin mengeluarkan ceramah panjangnya, hanya saja ia merasa anak kelas enam sd bila mendapat ceramahan panjangnya nanti bisa langsung tepar.
“Kenapa sih kalian benci banget kayanya sama matematika? padahal matematika itu asyik tau!”
“Gurunya galak,kak! Seram,” cerita Edo dan Arga yang merupakan teman satu SD. Sementara Didi punya jawaban lain, “Gurunya nggak enak, kak. Jawaban Didi bener disalahinnya. Ntah apa-apa,” keluhnya. Anjani tersenyum. Ia punya solusi dari masalahnya. Dan ia berharap solusi yang terlintas dibenaknya benar-benar menjadi solusi.
Malam ini, ia mencoba solusi tersebut, ia mencoba sistem pengajaran baru, ia membuat sebuah lomba mengumpulkan bintang, hal ini adalah inisiatifnya sendiri setelah belakangan ia belajar mengenali karakter ketiga siswanya itu. Ketiga siswa itu tak suka pada penjelasan materi dan lebih suka langsung menjawab soal. Ya, sebenarnya ketiga siswanya itu bukanlah siswa yang bodoh, mereka justru siswa yang tergolong pintar. Terbukti dengan sistem mengajarnya malam ini, mengadakan cerdas cermat menjawab soal-soal UN tahun 2013, mereka antusias. Mereka yang biasanya selalu saja melihat jam dan menghitung tiap detik yang berlalu seakan mulai lupa dangan detik jam tersebut. Tak terdengar lagi kata, -Sekarang sudah jam berapa? Kak udah jam delapan. Aduh lama lagi jam delapan- dan sebagainnya. Hal ini membuat hati Anjani tersenyum. Entahlah, rasanya ada bagian yang begitu bahagia di dalam dirinya. Ia menduga bahwa itu adalah bagian hatinya.
Ketika tengah asyik berlomba-lomba menjawab pertanyaan demi pertanyaan, terdengar suara dentingan khas penjual bakso.
“Kak, Didi izin belanja boleh?” Tanya didi. Anjani berpikir sejenak kemudian mengizinkan. Didi langsung beranjak keluar kelas dengan bersemangat.
Sementara itu Edo dan Arga meminta agar soal selanjutnya dibacakan dengan segera agar mereka mendapatkan bintang lebih banyak dan berhasil mengalahkan Didi. Posisi sementara Edo dengan lima bintang,  Arga dengan tiga bintang dan Didi dengan empat bintang.
“Kak, ayoklah lanjut aja. Lagi pula ngapa kakak izinin Didi belanja, kak? Kan ini masih jam belajar,” keluh Edo.
“Kalo nggak kakak izinkan nanti tukang baksonya pergi, kasihan dia, ayo pada sabar, tunggu Didinya dulu baru kita lanjut,” Jawab Anjani sembari membaca buku untuk mencari-cari soal selanjutnya yang akan dibacakan.
“Mana pula dia beli bakso, kak. Dia belanja ke warung tu.”
“Nggak, dia beli bakso kok,” yakin Anjani meski sebenarnya ia juga tak tahu Didi berbelanja kemana.
“Ngga do, kak. Dia ke warung,” sanggah Edo sependapat dengan Arga. “Nanti kalau dia datang suruh dia bagi-bagi makanannya ya, kak! Kan nggak adil, kalo dia makan sendiri di jam pelajaran.”
“Adil itu bukan membagi segala sesuatu sama banyak, tapi membagi sesuatu sesui porsinya,” kalimat bijak anjani mulai keluar secara spontan.
“Tapi kak, itu kan adil. Aturannya udah ada soal yang kami jawab nih, dah dapat bintang pula kami. Gara-gara Didi jadi makin lama ha,” gerutu Arga.
“Kak, pokoknya suruhlah dia bagi, kak. Biar adil,” pinta Edo.
Ditengah perdebatan itu, akhirnya pintu ruang kelas terdengar seperti hendak dibuka. Kemudian muncul Didi dari balik pintu membawa segelas minuman ringan dengan beberapa makanan disembunyikannya dalam bajunya.
Ketika mulut Anjani terbuka hendak mengomeli Didi karena ternyata Didi tidak membeli bakso seperti yang ia yakini, mulut itu justru tertutup dan berganti senyum melihat Didi mengeluarkan beberapa makanan dari balik persembunyian bajunya itu dan membaginya kepada teman-temannya termasuk juga Anjani tanpa dimintai. Melihat itu hati Anjani terasa luluh.  Bocah kelas enam SD itu ternyata tak egois dan punya rasa solidaritas yang tinggi.
“Nah, lihat tuh, tanpa diminta aja Didi udah ada inisiatif dan berbaik hati membagi kalian. Padahal kalian suka kali ngebully dia. Lihat lah, teman yang kalian bully ini baik kali ha, tapi kalian jahat kali dengan dia,” nasehat Anjani kepada Edo dan Arga. Ya, Didi memang sesekali kompak dengan mereka, akan tetapi karena perbedaan derajat tempat mereka sekolah Didi juga sering mendapati bully-an, ntah itu mengenai pelaaran disekolahnya yang lebih lambat dari peajaran sekolah Edo dan Arga, entah tentang Didi yang selalu punya banyak tugas, dan lain sebagainya.
Anjani tersenyum. Entahlah, rasanya senyum itu ingin terus mengembang diwajahnya. Terlebih ia bisa lihat dari sepasang bola mata Edo dan Arga, bahwa mereka juga terharu tiba-tiba dibelikan makanan oleh Didi. Padahal awalnya mereka berniat jahat pada didi, namun niat jahat mereka justru dibalas dengan tindakan sederhana yang menggetarkan dada.
“Eh, nanti ya makan kuenya, sekarang kita lanjut dulu belajarnya, jawab beberapa soal lagi,” ajak Anjani tak mau terlampau tenggelam dalam suasana. Ketiga muridnya itu langsung fokus mendengar pertanyaan Anjani.  Usai beberapa soal dibacakan, didapatlah Edo keluar sebagai pemenang pertama dengan meraih tujuh bintang, dibawahnya ada Didi dengan lima bintang, dan terakhir Arga dengan tiga bintang. Anjani tersenyum. dilihatnya jam didinding menunjukkan pukul 20.31 wib. Ia memutuskan mengakhiri pelajaran dan membiarkan ketiga anak-anak itu menikmati makanannya. Ia tesenyum. Amat puas akan apa yang terjadi malam ini.

0 komentar:

Posting Komentar