RSS

Rindu Tanpa Jarak



Jarak memang selalu menjadi alasan di balik hadirnya rindu. Namun, tak semua rindu harus beralasankan jarak. Seperti rindu ini. Rindu yang hadir sekalipun tangan itu saling menggenggam.
           Ia menatap jarum jam pada dinding ruang kerjanya. Pukul 13.05 WIB. Kemudian ia melihat pada pintu di ujung ruang kerja itu. Biasanya pukul segini akan ada seseorang yang berdiri di balik pintu, mengetuk pintu dan masuk dengan membawa rantang makan siang. Tapi kini ...itu hanya tinggal menjadi rindu. Rindu yang entah kapan akan ada penawarnya.
20 Maret 2013
Usai rapat dengan beberapa rekan bisnis, akhirnya Hardi dapat duduk santai di ruang kerjanya. Dinyalakannya televisi sambil menunggu jam makan siang.
Tak lama terdengar suara pintu diketuk. Naya kemudian muncul dari balik pintu. Naya memang selalu datang setiap siang ke kantornya untuk mengantar makan siang. Namun, sepertinya siang ini Naya tak sekedar datang untuk mengantar makan siang, Naya tampak berbeda, ia tampak amat gembira, senyumnya mengembang. Bola matanya berbinar.
“Sayang!!! Aku punya kabar gembira!!” Naya berjalan terburu-buru menghampiri Hardi.
Benar saja dugaannya. Wanitanya tengah bahagia. Ia tersenyum kemudian bertanya dengan tenang, “Oh ya? Kabar apa? Kau menang arisan?” Tebaknya terkekeh, karena biasanya yang membuat Naya berekspresi begitu adalah menang arisan.
Naya tertawa, “Tidak, ini lebih dari menang arisan! Akira tadi menelponku, dan dia bilang dia akan kembali ke Jakarta tanggal 22 ini! Ahh, aku sudah tidak sabar menemuinya!” Akira adalah anak tunggal mereka, anak satu-satunya karena setelah itu, Naya divonis mengidap penyakit kista yang membuat rahimnya harus diangkat dan ia tak bisa memiliki anak lagi. Akira berkuliah di Malaysia, dan sudah 6 bulan tak pulang ke Jakarta.
***
22 Maret 2015
Hardi melihat Naya duduk di atas ranjangnya menatap bingung kalender yang berada di tangannya. Ia tampak berpikir keras.
“Ada apa, sayang?” Tanyanya. Naya menatap Hardi. Kemudian menggeleng. Spidol merah itu ia torehkan membentuk lingkaran pada angka 20.
“Dua hari lagi Akira pulang, ahh mengapa rasanya lama sekali ya?” Tanyanya.
Hardi tersenyum kecut, “Tidak lama, itu hanya perasaanmu saja,” ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul Sembilan malam.
“Sebaiknya kamu tidur, agar waktu dapat terasa lebih cepat berputar.”
Naya menggeleng, “Tidak, aku tak ingin tidur. Jika aku tidur, kalendernya bisa berubah! Akira akan semakin lama pulang!”
“Tidak! Akira akan pulang dua hari lagi, sayang.”
“Tidak! Kamu pembohong! Kamu selalu berkata begitu!!” Naya tampak emosi. Hardi melangkah mundur. Hardi takut Naya akan memberontak bila ia mencoba melawan. Hardi tak ingin kondisi Naya memburuk seperti seminggu lalu.
Ia membiarkan Naya memandangi kalender itu hingga wanita itu tertidur dengan sendirinya. Tadinya dokter yang menangani Naya hendak memberi suntikan tidur kepada Naya, akantetapi Hardi tak mengizinkannya lagi. Ia tak ingin istrinya selalu bergantung pada obat-obat yang disuntikkan itu. Ia tak ingin istrinya semakin lama terperangkap di rumah sakit itu. Ia rindu istrinya yang dulu, istri yang telah dua tahun seperti ada namun serasa tiada.
Diperhatikannya Naya yang tengah tertidur pulas. Wajah wanita itu masih cantik. Masih seperti 20 tahun yang lalu saat ia meminang Naya. Ia menggenggam tangan Naya.
“Sayang, dua tahun sudah putri kita pergi. Jujur saja, sekarang sudah tanggal 22 yang kedua kalinya, maaf bila aku selalu membohongimu dengan mengganti kalender, tapi itu agar kamu tak sehancur dulu, aku tak ingin melihat kamu tidur panjang seperti setahun lalu saat berita duka itu menimpa kita. Cukup aku kehilangan Akira, aku tak ingin kehilanganmu juga, Zita Kanaya. Aku ingin kamu bisa menerima kepergian putri kita, aku rindu kamu yang selalu menyiapkan pakaian kerjaku, rindu kamu yang selalu mengantarkan makan siang ke kantorku, rindu ceritamu tentang teman-teman arisanmu, rindu kamu, sayang. Aku ingin kamu yang dulu.”
***
Ia kembali menatap jarum jam dinding ruang kerjanya. Pukul 13.05 WIB. Ia tertunduk. Ia tak lagi melihat ke arah pintu karena ia tahu, tak akan ada Naya. Ia menggapai foto yang ada di meja kerjanya, di lihatnya ada gambar dirinya, Naya dan juga Akira disana. Ia tersenyum tipis. Memorinya merindu. Seketika terdengar pintu diketuk. Ia langsung tersentak dan menyuruh seseorang dari balik pintu untuk masuk.
Matanya membulat. Dilihatnya seorang wanita menjinjing rantang nasi di tangan kanan. Hardi menelan ludah. Wanita itu berjalan semakin dekat menghampirinya.
            Wanita itu tersenyum menatap Hardi, “Kau tak perlu lagi membeli makan siang di luar, dan ...tak usah repot mengganti kalenderku.” Bibir Hardi seketika kelu. Tubuhnya membeku.

0 komentar:

Posting Komentar