Semoga makin dewasa ya.
Ingat ya Rin, dewasa.
DEWASA.
***
22 November 2012
Suasana kelas riuh. Ini bukan jam
istirahat, akantetapi sudah seperti jam istirahat saja. Bagaimana tidak, buk
Sum, guru kimia kami tidak masuk dengan alasan sakit dan hanya meninggalkan
tugas. Tugas itu juga dikumpul minggu depan, oleh karenanya kelas riuh dengan
segala macam aksi. Ada yang memang benar-benar mengerjakan tugas, ada yang
berkumpul bermain kartu, ada yang tengah ngerumpi, ada juga yang berlarian
entah tengah bermain apa. Padahal sudah kelas tiga SMA, akantetapi tingkah anak
usia TK itu masih saja melekat. Masa kecil kelewat bahagia memang.
“Pengumuman-pengumuman!” Suara itu
membuat hening seketika. Kulihat sekitar, seluruh mata memandang lurus ke
depan. Menatap laki-laki yang tengah berdiri di depan kelas. Laki-laki yang
lebih tinggi beberapa senti dariku, sekitar 167 senti. Rambutnya tidak
terlampau panjang, tidak juga pendek. Kulitnya putih. Hidungnya mancung. Bola
matanya hitam pekat, menatap tajam seperti namanya, Elang.
Laki-laki itu mau apa? Tumben sekali
ia mau berdiri di depan kelas? Hendak menyampaikan pengumuman pula? Padahal ia
bukan ketua, wakil atau bagian penting lainnya di kelas ini.
“Pengumuman, aku mau bilang ...” ia jeda
sejenak, melihat ke arahku. Apa? Mengapa ia melihatku? Aku menunduk. Tuhan,
jantungku kembali aneh. Aku tak mengerti ada apa ini. Apa yang hendak dia
lakukan? Mengapa dia melihat ke arahku? Apa ...apa dia tahu kalau aku
mencintainya?
Ia tersenyum. Kali ini mata elangnya
berkeliaran ke seluruh penjuru kelas, kemudian pandangan terakhirnya mendarat
di sudut kelas tepat di tempat aku duduk, bangku di sudut ruang kelas dekat
pintu masuk deretan ke tiga. Senyumnya, Tuhan.
“Aku mau bilang, kalau selama ini
aku suka sama Arini. Rin, kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Mulutku sedikit terbuka. Benakku
tengah melumat kata-katanya. Pandanganku masih kosong ke arahnya. Kurasakan
semilir angin tak lagi melewati wajahku, bahkan nafasku saja tak terasa olehku.
Aliran darah yang hangat itu berganti dingin. Jantungku mungkin telah raib.
Detik tak terdengar detaknya. Lelucon macam apa yang ia lakukan?
Separuh sadar kulihat sekitar, memperhatikan
wajah teman-teman yang sejenak juga ikut dalam keheranan sama sepertiku. Tapi
setelah itu mereka bertepuk tangan riuh dan membuat aku benar-benar tersadar.
Tuhan, mengapa yang nyata ini tidak
bisa menjadi kenyataan. Aku tersenyum canggung. Gila saja aku terbawa suasana
permainan truth or dare mereka. Ahh,
padahal tadi saaat aku mengerjakan tugas, aku sempat mencuri pandang ke arahnya
dan tahu kalau dia tengah memainkan permainan itu. Tapi, kenapa bisa-bisanya
aku tak sadar kalau semua itu hanya dare-nya?
Gila.
Ia kemudian beranjak berjalan. Ia
melewati mejaku, dengan amat sederhana ia tersenyum dan berkata, “maaf ya,” aku
mengangguk dan membalas senyumnya dengan usaha ekstra membuat senyum itu
terlihat se-natural mungkin.
***
26 November 2012
Lantunan lagu mellow terdengar
menggema menyaingi suara-suara lebah di kelas saat jam istirahat. Suara itu berasal
dari sudut ujung kelas. Ponsel Pi. Pi adalah miss galau kelasku. Ia terkenal sebagai miss galau karena sering sekali galau. Menggalaukan kekasihnya yang
jauh di negeri antah berantah itu. Katanya, nasib LDR ya gini, merindu
sepanjang jarak.
Kulihat ke arah pintu masuk. Sial,
jodohku muncul. Ia berjalan masuk. Kulihat dia dengan ragu-ragu, takut kalau ia
menyadari aku tengah memperhatikannya.
Kuambil buku dan pura-pura sedang membaca.
Tuhan, jangan sampai jantungku copot
hanya karena tak sanggup dengan detaknya yang begitu cepat. Elang, laki-laki
itu. Ia duduk di sampingku. Tepat di sampingku. Ku lirik Zefa, ia tengah menahan
tawa melihat Elang yang duduk di sampingku. Tidak. Rasanya aku ingin menutup
wajahku. Aku takut Elang melihat wajah yang pasti sudah merona merah. Sudah
seperti langit biru dibias jingga kala senja. Aku menunduk pura-pura tak
memperdulikannya.
“Ada orang ganteng di samping malah
liatin buku,” aku melihatnya. Dia tersenyum menggodaku. Ia menatapku. Oh Tuhan,
mata elangnya.
Aku segera mengambil buku dan
menutup mataku, “apaan sih!” omelku jengkel. Jengkel tapi bahagia sih. Ia
mengambil buku yang menutupi wajahku dan kembali menggoda dengan berusaha
menatapku. Aku melihat sekilas matanya yang tampak menatapku lekat, mataku kemudian langsung beralih karena tak
sanggup menatap matanya.
“Elang,” rengekku manja. Tidak aku
tidak manja, suaraku memang terdengar seperti manja begitu. Zefa bilang suaraku
menggoda. Sialan anak itu.
“Mau sampai kapan sih nggak bisa
natap mata orang? Ada kelainan apa sih? Padahalkan natap orang ganteng,” Elang
tertawa, Zefa terkekeh. Aku menunduk.
“Ingat, dewasa, Rin. Jadi cewek
dewasa dong.”
Dewasa. Se-‘anak-anak’ itukah aku
hingga Elang selalu saja memintaku agarmenjadi cewek yang dewasa? Ya aku tahu,
aku memang manja, masih suka bercanda seperti anak-anak, masih suka main
sebutkan nama-nama, main empar-empar pisang dan masih belum bisa menatap
laki-laki, tapi itu bukan berarti aku tidak dewasa. Manja? Tidak, suaraku saja
yang terdengar begitu, sungguh. Bercandakan berarti humoris. Permainan itu juga tidak ada batasan usia. Kalau
tentang menatap mata itu ...bahkan menatap mata wanita saja aku payah. Aku juga
tidak tahu kenapa. Tapi ...iya juga sih, aku mengaku merasa masih belum dewasa.
“Ya nggak tau juga,” jawabku
cemberut. Jujur aku sedang membenahi hatiku yang tak karuan saat ini. Berada di
dekat Elang itu rasanya aneh. Nyaman tapi buat aku gelisah karena takut salah
tingkah.
Satu hal, andai aku bisa
menghentikan waktu, aku ingin saat aku di dekatnya waktu berhenti. Benar-benar
berhenti. Membekukan kebersamaan kami hingga kebersamaan itu abadi. Aku ingin
selalu bersamanya, menikmati rasa aneh ini.
“Elang janji, nanti Elang akan jadi
orang pertama yang bisa Rin tatap. Janji deh,” aku mengangkat wajahku, melihat
ke arahnya. Melihat wajahnya, bukan menatap matanya.
***
“Kamu dimana? Sekarang aku udah
dewasa loh. beneran. Dan aku masih nunggu kamu nepatin janji kamu.” gumamku
pelan. Bodoh! Aku masih saja mengingat tiap kata-kata Elang. Tiap scene kebersamaan bersama Elang. Padahal
mungkin saja dia sudah lupa semuanya, atau bahkan janji itu ia ucapkan secara
tidak sadar. Itu bukan janji jari kelingking.
Aku tengah duduk bersandar di bangku.
Santai menatap senja dari atas balkon rumah. Senja hari ini benar-benar galau
seperti perasaanku, ditambah rintik hujan yang hadir membuat pecahan-pecahan
memori masa lalu itu menggelitik ingatanku.
Hujan dan senja, yang satu
mengisyaratkan kerinduan karena selalu ada kepingan masa lalu dalam rintiknya,
satunya lagi mengisyaratkan dilema yang dahsyat, kala langit biru dikelabuhi
jingga hingga mentari pergi namun rembulan belum juga hadir menggantikan. Aku
tidak tahu harus suka keduanya atau membenci keduanya. Sebab keduanya selalu
saja membawaku pada Elang. Laki-laki yang kukenal delapan tahun lalu, yang
keberadaannya antah berantah saat ini.
“Ciee yang mau nikah ngelamun. Waktunya
pas banget lagi. Hujan disaat senja, itu waktu tergalau yang sempurna,” wanita
tak terlampau tinggi dengah hijab bunga-bunganya tertawa menggoda. Aku
tersentak dan langsung meninggalakan sandaranku, duduk melihatnya berjalan dari
pintu kemudian berdiri melihat jingga dengan berpegang pada pagar balkon.
“Apa sih, Fa? Siapa juga yang mau
nikah.”
“Jadi kamu akan menolak lamaran
Damar? Padahal dia suka kamu sejak SMA loh! Bahkan bela-belain buat masuk
kuliah kedokteran, demi memenuhi cita-cita kamu punya suami dokter,” ia
berbalik bercerita antusias. Itu sudah berulang kali ia katakan padaku.
Ia kemudian menunduk dan tersenyum
simpul, “ya meskipun pada akhirnya pindah jurusan karena otaknya nggak sanggup
dan sekarang bukan dokter,” tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang ditutupi
hijab.
“Siapa juga yang bilang aku bakal
nolak dia? Ya kalau jodoh mau diapain, usiaku juga sudah 24,” nada jawabanku
terdengar kecewa, seperti hatiku. Jujur,
aku masih mengharapkan Elang. tapi manamungkin.
“Baguslah kalau kamu berpikir gitu,
aku pikir kamu bakal bela-belain nunggu Elang, laki-laki yang bahkan ...em ...sudahlah,”
Delapan tahun memang terkesan lama.
Lama untuk bertahan mencintai seseorang yang bahkan tak tahu kalau ia dicintai
olehku. Tapi, perasaanku bilang, Elang tahu.
Aku teringat pada masa SMA dulu, sewaktu
Elang punya pacar, dia pernah menulis status di media sosial, isinya seperti
mengisyaratkan dia memilih setia namun juga tak bisa pungkiri kalau dia juga menyukai
wanita yang baru itu. Aku merasa itu untukku.
Tapi belakangan aku merasa bodoh.
Itu bukan untukku. Buktinya saja, dia tak pernah menghubungiku lagi sejak tamat
SMA, Dulu pun kami tak begitu dekat, hanya beberapa waktu saja. Dan kemarin
...bukan, empat tahun lalu, aku menemukan kontaknya. Kucoba invite, dia memang
menerima, tapi kemudian mengganti pin. Kucoba menginvite pin barunya, eh dia
malah balik ke pin lama. Seperti ...ahh, plis jangan baper.
“Jangan merangkai semua yang
kebetulan hingga perasaan kamu makin kuat kedia,” seolah tahu isi pikiranku,
Zefa berkata tepat.
“Allah bilang nggak ada yang
kebetulan.”
“Oke, tapi bisa saja itu artinya
ngga seperti yang kamu artikan,”
“Kemarin. Bukan empat tahun lalu,
dia update status di FB, statusnya jawaban dari statusku, tentang jodoh. Aku
coba komentar eh dia malah hapus statusnya, kamu kira itu kenapa?” Tanyaku pada
zefa. Itu terakhir aku mencoba dekat dengan Elang. Aku sudah berusaha melawan
gengsiku agar bisa dekat dengannya, minimal seperti teman. Tapi dia seolah
menjauhiku. Entah jika itu perasaanku saja.
Zefa terdiam. Aku ikut diam. Tuhan,
ketika aku sedang merindukannya seperti saat ini, aku berharap dia juga tengah
merindukanku di sana. Ketika aku tengah mengadu tentangnya pada-Mu, aku juga
berharap dia tengah mengadu tentangku pada-Mu. Tuhan, aku tidak tahu mengapa
aku bisa secinta ini padanya, aku hanya merasa menemukan diriku dalam dirinya
dan menemukan dirinya dalam diriku. Itu saja. Bahkan tahun demi tahun berlalu
tapi ia tetap saja tak mampu ku usir dari hatiku.
“Andai Elang berkoar tentang
statusnya, tentang dia punya pacar atau bahkan telah menikah, mungkin aku akan
lebih mudah melupakannya,” ucapku melihat rintik hujan yang mulai turun
melambat.
Aku menyukainya saat ia telah
memiliki kekasih. setelah itu ia putus dengan kekasihnya, aku bahagia, tapi
juga sedih karena melihatnya sedih. Tapi aneh, setelah itu tak pernah terdengar
lagi ia memiliki kekasih. Bahkan ia tak pernah lagi memajang foto dengan
wanita. Empat tahun belakangan ia menghilang, akun media sosialnya seperti tak
berpenghuni. Aku sama sekali tak tahu kabarnya. Dan bodohnya, cinta itu tidak
hilang, bahkan berkurang saja tidak. Rindu justru semakin angkuh menggerogoti
hati.
Mereka bilang, jodoh tak akan
kemana. Ia akan datang tepat waktu. Perbaiki saja dulu dirimu, maka jodoh yang
baik akan datang menghampirimu. Aku sudah mencoba itu, aku sudah membenahi
diri, dan memang ada yang datang melamarku, memang laki-laki baik. Tapi ....
***
Pagi yang sama sekali tak ingin
kuhadiri. Rasanya ingin melompat langsung menuju senja, atau bahkan malam saja,
agar sekalian kelam. Ayah dan ibu sudah duduk rapi, adikku Arani juga sudah
duduk manis dengan senyum lebar di sampingku. Sesekali ia menyikutku untuk
menggoda. Di hadapanku sudah ada Damar. Ayah dan ibu Damar juga ada. Aku
menunduk.
“Jadi bagaimana, Rin?” Pertanyaan ayah
itu akhirnya mencuat.
Aku sudah berusaha mencari Damar
dalam istiqarahku. Berusaha mengaktifkan radarku untuk menemukan Damar. Tapi ...bayang-bayang
Elang muncul. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Padahal aku sudah berusaha
menghapusnya, mengingat-ingat semua ketidak mungkinan Elang adalah jodohku.
“Wanita yang baik itu untuk laki-laki
yang baik, jadi mana mungkin Elang itu tercipta untukmu, Rin. Dia itu
berandalan, raja cabut, tiap sebentar ke toilet untuk menghisap benda yang
selalu membuat dadaku sesak. Masuk belajar saja suka-suka dia. Sholat aja nggak
pernah, atau bahkan mungkin dia nggak tahu caranya,” sinis Zefa saat tahu aku
menyukai Elang delapan tahun lalu.
“Zefa! Buruk Di mata manusia belum
tentu buruk di mata Allah, aku yakin Elang sebenarnya cowok baik-baik kok,
kalau dia bisa bergaul dengan orang yang tepat.”
“Assalamu’alaikum,” suara seseorang membuyarkan
lamunanku. Ketegangan orang-orang yang menanti jawabanku sejenak meregang. Seluruh
mata beralih melihat sosok yang berucap salam tersebut. Sosok itu berdiri beberapa
hasata di belakang tempat Damar duduk.
Sosok itu mengenakan jas putih dan
celana goyang hitam. Gaya rambutnya tak berubah. Tingginya bertambah. Dan
matanya ...masih setajam namanya. Elang. Ia berdiri membawa sebuah buku di tangannya.
“Kamu siapa, nak?” Tanya ayahku.
Kulihat tatapan Elang berganti bingung. Ia melihat satu persatu orang yang
berada di hadapannya.
“Dia Elang, om. Teman SMA aku, oh
ya, Lang, lama ngga jumpa. Kamu diundang Rin untuk datang diacara lamaran aku
ya?”
“Lamaran?” Kulihat ada air wajah
kecewa di sana. Senyum Elang menghilang dan ia mundur beberapa langkah kemudian
beranjak pergi.
“Elang!” Panggilku. Kulihat sekilas
ke arah ayah untuk meminta izin pergi mengejar Elang, ayah mengangguk memberi izin.
***
Aku tidak tahu kapan tepatnya aku
jatuh hati padanya, yang kutahu tiap aku melihat refleksi wajahku pada cermin,
aku menemukan bayangannya.
Ingin berucap cinta namun diriku
sudah ada yang punya. Apa yang harus aku lakukan?
Bagian paling menyenangkan adalah
bagian dimana aku ada di sisinya.
Aku senang sudah bisa mengatakan
cinta, meski hanya sekedar dare dari sebuah permainan konyol. Andai dia tahu kenyataan
yang ia lihat itu memang nyata.
Gadis itu lucu. Hanya dia yang tak
mampu menatap mataku, polos. Aku janji akan jadi orang pertama yang bisa ia
tatap.
Aku tidak tahan! Aku ingin
mengatakan cinta padanya. Hari ini.
Cara terbaik mencintai wanita
adalah dengan menjauhinya, dan mendekati Sang Pemilik hatinya. Ia wanita yang
beda.
Dia seperti pintu ajaib yang
membawaku ke tempat penuh cahaya. Aku berubah bukan untuknya. Tapi untuk bisa
dekat dengan pemilik hatinya.
Tuhan, ketika aku sedang
merindukannya seperti saat ini, aku berharap dia juga tengah merindukanku di
sana. Ketika aku tengah mengadu tentangnya pada-Mu, aku juga berharap dia
tengah mengadu tentangku pada-Mu. Tuhan, aku tidak tahu mengapa aku bisa
secinta ini padanya.
Ini waktunya. Kubiarkan catatan ini
menjadi bukti betapa hari-hariku dipenuhi olehnya. Ku harap aku datang tepat
waktu. Dan aku jamin ia tak akan menolak dokter tampan ini.
Ku tutup buku yang isinya adalah
tulisan tangan Elang tersebut. Aku menatapnya dan tersenyum, “Kita punya do’a
yang sama? Semua yang ditulis di sini sungguhan? Kau menjauhiku karena ...? Kau
berubah? Kau juga menyukaiku sejak dulu? Kau sekarang menjadi dokter? Kau ...”
ia menyeka sekelumit pertanyaanku dengan memberi isyarat diam.
“Allah tak hanya satukan do’a, tapi
juga hati kita. Apa yang kamu rasa selama bertahun-tahun adalah apa yang aku rasa
dalam tahun-tahun yang sama. Tapi satu hal yang ternyata salah, aku terlambat.”
Aku tersenyum. Tuhan, ini kado
terindah. amat indah. Kulihat pintu masuk ke dalam rumah. Damar dan keluarganya
pasti sudah sangat lama menungguku di dalam sana. Aku sudah menyita banyak
waktu untuk membaca tulisan Elang.
***
Mataku terbuka perlahan. Silau
mentari pagi yang menyelip masuk dari jendela membuat mataku mengerjap-ngerjap.
Ku halangi cahaya yang masuk mengusik mataku tersebut dengan tangan kananku.
Pikiranku melayang terbang pada hari dimana aku membaca tulisan-tulisan Elang,
menolak lamaran damar dan akhirnya menikah dengan Elang. Menikah dengan Elang?
Benarkah?
“Tuhan, semuanya hanya mimpi?”
Gumamku kecewa. Rasanya aku ingin kembali memejamkan mata. Tak ingin terbangun.
Aku tak ingin bangun dari mimpi indah itu.
“Asslamu’alaikum, sayang! Ini pagi ke lima
kita, jangan bilang kamu masih merasa semua ini mimpi ya,” suaranya terdengar
membuat aku berbalik. Kulihat sosok Elang telah berdiri di ambang pintu
memegang nampan. Pada nampan tersebut kulihat sepotong roti dan segelas susu,
kurasa itu untukku.
Ia berjalan mendekat. Di letakkannya
nampan yang ia pegang ke atas meja dekat lampu tidur. Ia duduk di pinggir
ranjang dengan senyum, lalu berkata, “Semua ini terlalu indah untuk sekedar
mimpi, sayang.”
Kali ini, aku berhasil menatap
sepasang mata elang miliknya. Dan kalian tahu? Dia menepati janjinya.