RSS

Ini Merdeka

sangkakala tak pernah lelah
meski tujuhpuluh tahun sudah
ia tetap berkibar indah
merah putih masih tersenyum cerah
melewati orde lama
merangkak menuju orde baru
dan tenggelam di reformasi
kita merdeka, kawan!

ini merdeka! bukan sekedar fatamorgana perayaan empat lima
bangkitlah dari penjajahan jiwa
buat merdeka kita utuh bulat
sebulat pejuang bangsa saat buncah
meneriaki merdeka atau mati

Apa benar kita merdeka?

menggelar upacara
mengibarkan sangkakala
lakukan hormat pada bendera
menunduk sunyi mengheningkan cipta
bernyanyi merdeka dan tetap setia
siapa merdeka siapa setia
budaya mereka kini ada
kau ekori lalu bersuara setia
isi kepalamu dijajah kau teriakkan merdeka
gila!

hei bangsa!
benar merdekakah?
atau hanya sekedar euforia empat lima?
perayaan tradisi semata ada?

Elang




            Semoga makin dewasa ya.
            Ingat ya Rin, dewasa.
            DEWASA.
***
22 November 2012
            Suasana kelas riuh. Ini bukan jam istirahat, akantetapi sudah seperti jam istirahat saja. Bagaimana tidak, buk Sum, guru kimia kami tidak masuk dengan alasan sakit dan hanya meninggalkan tugas. Tugas itu juga dikumpul minggu depan, oleh karenanya kelas riuh dengan segala macam aksi. Ada yang memang benar-benar mengerjakan tugas, ada yang berkumpul bermain kartu, ada yang tengah ngerumpi, ada juga yang berlarian entah tengah bermain apa. Padahal sudah kelas tiga SMA, akantetapi tingkah anak usia TK itu masih saja melekat. Masa kecil kelewat bahagia memang.       
            “Pengumuman-pengumuman!” Suara itu membuat hening seketika. Kulihat sekitar, seluruh mata memandang lurus ke depan. Menatap laki-laki yang tengah berdiri di depan kelas. Laki-laki yang lebih tinggi beberapa senti dariku, sekitar 167 senti. Rambutnya tidak terlampau panjang, tidak juga pendek. Kulitnya putih. Hidungnya mancung. Bola matanya hitam pekat, menatap tajam seperti namanya, Elang.
            Laki-laki itu mau apa? Tumben sekali ia mau berdiri di depan kelas? Hendak menyampaikan pengumuman pula? Padahal ia bukan ketua, wakil atau bagian penting lainnya di kelas ini.
            “Pengumuman, aku mau bilang ...” ia jeda sejenak, melihat ke arahku. Apa? Mengapa ia melihatku? Aku menunduk. Tuhan, jantungku kembali aneh. Aku tak mengerti ada apa ini. Apa yang hendak dia lakukan? Mengapa dia melihat ke arahku? Apa ...apa dia tahu kalau aku mencintainya?
            Ia tersenyum. Kali ini mata elangnya berkeliaran ke seluruh penjuru kelas, kemudian pandangan terakhirnya mendarat di sudut kelas tepat di tempat aku duduk, bangku di sudut ruang kelas dekat pintu masuk deretan ke tiga. Senyumnya, Tuhan.
            “Aku mau bilang, kalau selama ini aku suka sama Arini. Rin, kamu mau nggak jadi pacar aku?”
            Mulutku sedikit terbuka. Benakku tengah melumat kata-katanya. Pandanganku masih kosong ke arahnya. Kurasakan semilir angin tak lagi melewati wajahku, bahkan nafasku saja tak terasa olehku. Aliran darah yang hangat itu berganti dingin. Jantungku mungkin telah raib. Detik tak terdengar detaknya. Lelucon macam apa yang ia lakukan?
            Separuh sadar kulihat sekitar, memperhatikan wajah teman-teman yang sejenak juga ikut dalam keheranan sama sepertiku. Tapi setelah itu mereka bertepuk tangan riuh dan membuat aku benar-benar tersadar.
            Tuhan, mengapa yang nyata ini tidak bisa menjadi kenyataan. Aku tersenyum canggung. Gila saja aku terbawa suasana permainan truth or dare mereka. Ahh, padahal tadi saaat aku mengerjakan tugas, aku sempat mencuri pandang ke arahnya dan tahu kalau dia tengah memainkan permainan itu. Tapi, kenapa bisa-bisanya aku tak sadar kalau semua itu hanya dare-nya? Gila.
            Ia kemudian beranjak berjalan. Ia melewati mejaku, dengan amat sederhana ia tersenyum dan berkata, “maaf ya,” aku mengangguk dan membalas senyumnya dengan usaha ekstra membuat senyum itu terlihat se-natural mungkin.
***
26 November 2012
            Lantunan lagu mellow terdengar menggema menyaingi suara-suara lebah di kelas saat jam istirahat. Suara itu berasal dari sudut ujung kelas. Ponsel Pi. Pi adalah miss galau kelasku. Ia terkenal sebagai miss galau karena sering sekali galau. Menggalaukan kekasihnya yang jauh di negeri antah berantah itu. Katanya, nasib LDR ya gini, merindu sepanjang jarak.
            Kulihat ke arah pintu masuk. Sial, jodohku muncul. Ia berjalan masuk. Kulihat dia dengan ragu-ragu, takut kalau ia menyadari aku tengah memperhatikannya.  Kuambil buku dan pura-pura sedang membaca.
            Tuhan, jangan sampai jantungku copot hanya karena tak sanggup dengan detaknya yang begitu cepat. Elang, laki-laki itu. Ia duduk di sampingku. Tepat di sampingku. Ku lirik Zefa, ia tengah menahan tawa melihat Elang yang duduk di sampingku. Tidak. Rasanya aku ingin menutup wajahku. Aku takut Elang melihat wajah yang pasti sudah merona merah. Sudah seperti langit biru dibias jingga kala senja. Aku menunduk pura-pura tak memperdulikannya.
            “Ada orang ganteng di samping malah liatin buku,” aku melihatnya. Dia tersenyum menggodaku. Ia menatapku. Oh Tuhan, mata elangnya.
            Aku segera mengambil buku dan menutup mataku, “apaan sih!” omelku jengkel. Jengkel tapi bahagia sih. Ia mengambil buku yang menutupi wajahku dan kembali menggoda dengan berusaha menatapku. Aku melihat sekilas matanya yang tampak menatapku lekat,  mataku kemudian langsung beralih karena tak sanggup menatap matanya.
            “Elang,” rengekku manja. Tidak aku tidak manja, suaraku memang terdengar seperti manja begitu. Zefa bilang suaraku menggoda. Sialan anak itu.
            “Mau sampai kapan sih nggak bisa natap mata orang? Ada kelainan apa sih? Padahalkan natap orang ganteng,” Elang tertawa, Zefa terkekeh. Aku menunduk.
            “Ingat, dewasa, Rin. Jadi cewek dewasa dong.”
            Dewasa. Se-‘anak-anak’ itukah aku hingga Elang selalu saja memintaku agarmenjadi cewek yang dewasa? Ya aku tahu, aku memang manja, masih suka bercanda seperti anak-anak, masih suka main sebutkan nama-nama, main empar-empar pisang dan masih belum bisa menatap laki-laki, tapi itu bukan berarti aku tidak dewasa. Manja? Tidak, suaraku saja yang terdengar begitu, sungguh. Bercandakan berarti humoris.  Permainan itu juga tidak ada batasan usia. Kalau tentang menatap mata itu ...bahkan menatap mata wanita saja aku payah. Aku juga tidak tahu kenapa. Tapi ...iya juga sih, aku mengaku merasa masih belum dewasa.
            “Ya nggak tau juga,” jawabku cemberut. Jujur aku sedang membenahi hatiku yang tak karuan saat ini. Berada di dekat Elang itu rasanya aneh. Nyaman tapi buat aku gelisah karena takut salah tingkah.
            Satu hal, andai aku bisa menghentikan waktu, aku ingin saat aku di dekatnya waktu berhenti. Benar-benar berhenti. Membekukan kebersamaan kami hingga kebersamaan itu abadi. Aku ingin selalu bersamanya, menikmati rasa aneh ini.
            “Elang janji, nanti Elang akan jadi orang pertama yang bisa Rin tatap. Janji deh,” aku mengangkat wajahku, melihat ke arahnya. Melihat wajahnya, bukan menatap matanya.
***
            “Kamu dimana? Sekarang aku udah dewasa loh. beneran. Dan aku masih nunggu kamu nepatin janji kamu.” gumamku pelan. Bodoh! Aku masih saja mengingat tiap kata-kata Elang. Tiap scene kebersamaan bersama Elang. Padahal mungkin saja dia sudah lupa semuanya, atau bahkan janji itu ia ucapkan secara tidak sadar. Itu bukan janji jari kelingking.
            Aku tengah duduk bersandar di bangku. Santai menatap senja dari atas balkon rumah. Senja hari ini benar-benar galau seperti perasaanku, ditambah rintik hujan yang hadir membuat pecahan-pecahan memori masa lalu itu menggelitik ingatanku.
            Hujan dan senja, yang satu mengisyaratkan kerinduan karena selalu ada kepingan masa lalu dalam rintiknya, satunya lagi mengisyaratkan dilema yang dahsyat, kala langit biru dikelabuhi jingga hingga mentari pergi namun rembulan belum juga hadir menggantikan. Aku tidak tahu harus suka keduanya atau membenci keduanya. Sebab keduanya selalu saja membawaku pada Elang. Laki-laki yang kukenal delapan tahun lalu, yang keberadaannya antah berantah saat ini.
            “Ciee yang mau nikah ngelamun. Waktunya pas banget lagi. Hujan disaat senja, itu waktu tergalau yang sempurna,” wanita tak terlampau tinggi dengah hijab bunga-bunganya tertawa menggoda. Aku tersentak dan langsung meninggalakan sandaranku, duduk melihatnya berjalan dari pintu kemudian berdiri melihat jingga dengan berpegang pada pagar balkon.
            “Apa sih, Fa? Siapa juga yang mau nikah.”
            “Jadi kamu akan menolak lamaran Damar? Padahal dia suka kamu sejak SMA loh! Bahkan bela-belain buat masuk kuliah kedokteran, demi memenuhi cita-cita kamu punya suami dokter,” ia berbalik bercerita antusias. Itu sudah berulang kali ia katakan padaku.
            Ia kemudian menunduk dan tersenyum simpul, “ya meskipun pada akhirnya pindah jurusan karena otaknya nggak sanggup dan sekarang bukan dokter,” tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang ditutupi hijab.
            “Siapa juga yang bilang aku bakal nolak dia? Ya kalau jodoh mau diapain, usiaku juga sudah 24,” nada jawabanku terdengar kecewa, seperti hatiku.  Jujur, aku masih mengharapkan Elang. tapi manamungkin.
            “Baguslah kalau kamu berpikir gitu, aku pikir kamu bakal bela-belain nunggu Elang, laki-laki yang bahkan ...em ...sudahlah,”
            Delapan tahun memang terkesan lama. Lama untuk bertahan mencintai seseorang yang bahkan tak tahu kalau ia dicintai olehku. Tapi, perasaanku bilang, Elang tahu.
            Aku teringat pada masa SMA dulu, sewaktu Elang punya pacar, dia pernah menulis status di media sosial, isinya seperti mengisyaratkan dia memilih setia namun juga tak bisa pungkiri kalau dia juga menyukai wanita yang baru itu. Aku merasa itu untukku.
            Tapi belakangan aku merasa bodoh. Itu bukan untukku. Buktinya saja, dia tak pernah menghubungiku lagi sejak tamat SMA, Dulu pun kami tak begitu dekat, hanya beberapa waktu saja. Dan kemarin ...bukan, empat tahun lalu, aku menemukan kontaknya. Kucoba invite, dia memang menerima, tapi kemudian mengganti pin. Kucoba menginvite pin barunya, eh dia malah balik ke pin lama. Seperti ...ahh, plis jangan baper.
            “Jangan merangkai semua yang kebetulan hingga perasaan kamu makin kuat kedia,” seolah tahu isi pikiranku, Zefa berkata tepat.
            “Allah bilang nggak ada yang kebetulan.”    
            “Oke, tapi bisa saja itu artinya ngga seperti yang kamu artikan,”
            “Kemarin. Bukan empat tahun lalu, dia update status di FB, statusnya jawaban dari statusku, tentang jodoh. Aku coba komentar eh dia malah hapus statusnya, kamu kira itu kenapa?” Tanyaku pada zefa. Itu terakhir aku mencoba dekat dengan Elang. Aku sudah berusaha melawan gengsiku agar bisa dekat dengannya, minimal seperti teman. Tapi dia seolah menjauhiku. Entah jika itu perasaanku saja.
            Zefa terdiam. Aku ikut diam. Tuhan, ketika aku sedang merindukannya seperti saat ini, aku berharap dia juga tengah merindukanku di sana. Ketika aku tengah mengadu tentangnya pada-Mu, aku juga berharap dia tengah mengadu tentangku pada-Mu. Tuhan, aku tidak tahu mengapa aku bisa secinta ini padanya, aku hanya merasa menemukan diriku dalam dirinya dan menemukan dirinya dalam diriku. Itu saja. Bahkan tahun demi tahun berlalu tapi ia tetap saja tak mampu ku usir dari hatiku.
            “Andai Elang berkoar tentang statusnya, tentang dia punya pacar atau bahkan telah menikah, mungkin aku akan lebih mudah melupakannya,” ucapku melihat rintik hujan yang mulai turun melambat.
            Aku menyukainya saat ia telah memiliki kekasih. setelah itu ia putus dengan kekasihnya, aku bahagia, tapi juga sedih karena melihatnya sedih. Tapi aneh, setelah itu tak pernah terdengar lagi ia memiliki kekasih. Bahkan ia tak pernah lagi memajang foto dengan wanita. Empat tahun belakangan ia menghilang, akun media sosialnya seperti tak berpenghuni. Aku sama sekali tak tahu kabarnya. Dan bodohnya, cinta itu tidak hilang, bahkan berkurang saja tidak. Rindu justru semakin angkuh menggerogoti hati.
            Mereka bilang, jodoh tak akan kemana. Ia akan datang tepat waktu. Perbaiki saja dulu dirimu, maka jodoh yang baik akan datang menghampirimu. Aku sudah mencoba itu, aku sudah membenahi diri, dan memang ada yang datang melamarku, memang laki-laki baik. Tapi ....
***
            Pagi yang sama sekali tak ingin kuhadiri. Rasanya ingin melompat langsung menuju senja, atau bahkan malam saja, agar sekalian kelam. Ayah dan ibu sudah duduk rapi, adikku Arani juga sudah duduk manis dengan senyum lebar di sampingku. Sesekali ia menyikutku untuk menggoda. Di hadapanku sudah ada Damar. Ayah dan ibu Damar juga ada. Aku menunduk.
            “Jadi bagaimana, Rin?” Pertanyaan ayah itu akhirnya mencuat.
            Aku sudah berusaha mencari Damar dalam istiqarahku. Berusaha mengaktifkan radarku untuk menemukan Damar. Tapi ...bayang-bayang Elang muncul. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Padahal aku sudah berusaha menghapusnya, mengingat-ingat semua ketidak mungkinan Elang adalah jodohku.
            “Wanita yang baik itu untuk laki-laki yang baik, jadi mana mungkin Elang itu tercipta untukmu, Rin. Dia itu berandalan, raja cabut, tiap sebentar ke toilet untuk menghisap benda yang selalu membuat dadaku sesak. Masuk belajar saja suka-suka dia. Sholat aja nggak pernah, atau bahkan mungkin dia nggak tahu caranya,” sinis Zefa saat tahu aku menyukai Elang delapan tahun lalu.
            “Zefa! Buruk Di mata manusia belum tentu buruk di mata Allah, aku yakin Elang sebenarnya cowok baik-baik kok, kalau dia bisa bergaul dengan orang yang tepat.”
            “Assalamu’alaikum,” suara seseorang membuyarkan lamunanku. Ketegangan orang-orang yang menanti jawabanku sejenak meregang. Seluruh mata beralih melihat sosok yang berucap salam tersebut. Sosok itu berdiri beberapa hasata di belakang tempat Damar duduk.
            Sosok itu mengenakan jas putih dan celana goyang hitam. Gaya rambutnya tak berubah. Tingginya bertambah. Dan matanya ...masih setajam namanya. Elang. Ia berdiri membawa sebuah buku di tangannya.
            “Kamu siapa, nak?” Tanya ayahku. Kulihat tatapan Elang berganti bingung. Ia melihat satu persatu orang yang berada di hadapannya.
            “Dia Elang, om. Teman SMA aku, oh ya, Lang, lama ngga jumpa. Kamu diundang Rin untuk datang diacara lamaran aku ya?”
            “Lamaran?” Kulihat ada air wajah kecewa di sana. Senyum Elang menghilang dan ia mundur beberapa langkah kemudian beranjak pergi.
            “Elang!” Panggilku. Kulihat sekilas ke arah ayah untuk meminta izin pergi mengejar Elang, ayah mengangguk memberi izin.
***
Aku tidak tahu kapan tepatnya aku jatuh hati padanya, yang kutahu tiap aku melihat refleksi wajahku pada cermin, aku menemukan bayangannya.
Ingin berucap cinta namun diriku sudah ada yang punya. Apa yang harus aku lakukan?
Bagian paling menyenangkan adalah bagian dimana aku ada di sisinya.
Aku senang sudah bisa mengatakan cinta, meski hanya sekedar dare dari sebuah permainan konyol. Andai dia tahu kenyataan yang ia lihat itu memang nyata.
Gadis itu lucu. Hanya dia yang tak mampu menatap mataku, polos. Aku janji akan jadi orang pertama yang bisa ia tatap.
Aku tidak tahan! Aku ingin mengatakan cinta padanya. Hari ini.
Cara terbaik mencintai wanita adalah dengan menjauhinya, dan mendekati Sang Pemilik hatinya. Ia wanita yang beda.
Dia seperti pintu ajaib yang membawaku ke tempat penuh cahaya. Aku berubah bukan untuknya. Tapi untuk bisa dekat dengan pemilik hatinya.
Tuhan, ketika aku sedang merindukannya seperti saat ini, aku berharap dia juga tengah merindukanku di sana. Ketika aku tengah mengadu tentangnya pada-Mu, aku juga berharap dia tengah mengadu tentangku pada-Mu. Tuhan, aku tidak tahu mengapa aku bisa secinta ini padanya.
Ini waktunya. Kubiarkan catatan ini menjadi bukti betapa hari-hariku dipenuhi olehnya. Ku harap aku datang tepat waktu. Dan aku jamin ia tak akan menolak dokter tampan ini.
            Ku tutup buku yang isinya adalah tulisan tangan Elang tersebut. Aku menatapnya dan tersenyum, “Kita punya do’a yang sama? Semua yang ditulis di sini sungguhan? Kau menjauhiku karena ...? Kau berubah? Kau juga menyukaiku sejak dulu? Kau sekarang menjadi dokter? Kau ...” ia menyeka sekelumit pertanyaanku dengan memberi isyarat diam.
            “Allah tak hanya satukan do’a, tapi juga hati kita. Apa yang kamu rasa selama bertahun-tahun adalah apa yang aku rasa dalam tahun-tahun yang sama. Tapi satu hal yang ternyata salah, aku terlambat.”
            Aku tersenyum. Tuhan, ini kado terindah. amat indah. Kulihat pintu masuk ke dalam rumah. Damar dan keluarganya pasti sudah sangat lama menungguku di dalam sana. Aku sudah menyita banyak waktu untuk membaca tulisan Elang.
***
            Mataku terbuka perlahan. Silau mentari pagi yang menyelip masuk dari jendela membuat mataku mengerjap-ngerjap. Ku halangi cahaya yang masuk mengusik mataku tersebut dengan tangan kananku. Pikiranku melayang terbang pada hari dimana aku membaca tulisan-tulisan Elang, menolak lamaran damar dan akhirnya menikah dengan Elang. Menikah dengan Elang? Benarkah?
            “Tuhan, semuanya hanya mimpi?” Gumamku kecewa. Rasanya aku ingin kembali memejamkan mata. Tak ingin terbangun. Aku tak ingin bangun dari mimpi indah itu.
             “Asslamu’alaikum, sayang! Ini pagi ke lima kita, jangan bilang kamu masih merasa semua ini mimpi ya,” suaranya terdengar membuat aku berbalik. Kulihat sosok Elang telah berdiri di ambang pintu memegang nampan. Pada nampan tersebut kulihat sepotong roti dan segelas susu, kurasa itu untukku.
            Ia berjalan mendekat. Di letakkannya nampan yang ia pegang ke atas meja dekat lampu tidur. Ia duduk di pinggir ranjang dengan senyum, lalu berkata, “Semua ini terlalu indah untuk sekedar mimpi, sayang.”
            Kali ini, aku berhasil menatap sepasang mata elang miliknya. Dan kalian tahu? Dia menepati janjinya.

Rindu Tanpa Jarak



Jarak memang selalu menjadi alasan di balik hadirnya rindu. Namun, tak semua rindu harus beralasankan jarak. Seperti rindu ini. Rindu yang hadir sekalipun tangan itu saling menggenggam.
           Ia menatap jarum jam pada dinding ruang kerjanya. Pukul 13.05 WIB. Kemudian ia melihat pada pintu di ujung ruang kerja itu. Biasanya pukul segini akan ada seseorang yang berdiri di balik pintu, mengetuk pintu dan masuk dengan membawa rantang makan siang. Tapi kini ...itu hanya tinggal menjadi rindu. Rindu yang entah kapan akan ada penawarnya.
20 Maret 2013
Usai rapat dengan beberapa rekan bisnis, akhirnya Hardi dapat duduk santai di ruang kerjanya. Dinyalakannya televisi sambil menunggu jam makan siang.
Tak lama terdengar suara pintu diketuk. Naya kemudian muncul dari balik pintu. Naya memang selalu datang setiap siang ke kantornya untuk mengantar makan siang. Namun, sepertinya siang ini Naya tak sekedar datang untuk mengantar makan siang, Naya tampak berbeda, ia tampak amat gembira, senyumnya mengembang. Bola matanya berbinar.
“Sayang!!! Aku punya kabar gembira!!” Naya berjalan terburu-buru menghampiri Hardi.
Benar saja dugaannya. Wanitanya tengah bahagia. Ia tersenyum kemudian bertanya dengan tenang, “Oh ya? Kabar apa? Kau menang arisan?” Tebaknya terkekeh, karena biasanya yang membuat Naya berekspresi begitu adalah menang arisan.
Naya tertawa, “Tidak, ini lebih dari menang arisan! Akira tadi menelponku, dan dia bilang dia akan kembali ke Jakarta tanggal 22 ini! Ahh, aku sudah tidak sabar menemuinya!” Akira adalah anak tunggal mereka, anak satu-satunya karena setelah itu, Naya divonis mengidap penyakit kista yang membuat rahimnya harus diangkat dan ia tak bisa memiliki anak lagi. Akira berkuliah di Malaysia, dan sudah 6 bulan tak pulang ke Jakarta.
***
22 Maret 2015
Hardi melihat Naya duduk di atas ranjangnya menatap bingung kalender yang berada di tangannya. Ia tampak berpikir keras.
“Ada apa, sayang?” Tanyanya. Naya menatap Hardi. Kemudian menggeleng. Spidol merah itu ia torehkan membentuk lingkaran pada angka 20.
“Dua hari lagi Akira pulang, ahh mengapa rasanya lama sekali ya?” Tanyanya.
Hardi tersenyum kecut, “Tidak lama, itu hanya perasaanmu saja,” ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah menunjukkan pukul Sembilan malam.
“Sebaiknya kamu tidur, agar waktu dapat terasa lebih cepat berputar.”
Naya menggeleng, “Tidak, aku tak ingin tidur. Jika aku tidur, kalendernya bisa berubah! Akira akan semakin lama pulang!”
“Tidak! Akira akan pulang dua hari lagi, sayang.”
“Tidak! Kamu pembohong! Kamu selalu berkata begitu!!” Naya tampak emosi. Hardi melangkah mundur. Hardi takut Naya akan memberontak bila ia mencoba melawan. Hardi tak ingin kondisi Naya memburuk seperti seminggu lalu.
Ia membiarkan Naya memandangi kalender itu hingga wanita itu tertidur dengan sendirinya. Tadinya dokter yang menangani Naya hendak memberi suntikan tidur kepada Naya, akantetapi Hardi tak mengizinkannya lagi. Ia tak ingin istrinya selalu bergantung pada obat-obat yang disuntikkan itu. Ia tak ingin istrinya semakin lama terperangkap di rumah sakit itu. Ia rindu istrinya yang dulu, istri yang telah dua tahun seperti ada namun serasa tiada.
Diperhatikannya Naya yang tengah tertidur pulas. Wajah wanita itu masih cantik. Masih seperti 20 tahun yang lalu saat ia meminang Naya. Ia menggenggam tangan Naya.
“Sayang, dua tahun sudah putri kita pergi. Jujur saja, sekarang sudah tanggal 22 yang kedua kalinya, maaf bila aku selalu membohongimu dengan mengganti kalender, tapi itu agar kamu tak sehancur dulu, aku tak ingin melihat kamu tidur panjang seperti setahun lalu saat berita duka itu menimpa kita. Cukup aku kehilangan Akira, aku tak ingin kehilanganmu juga, Zita Kanaya. Aku ingin kamu bisa menerima kepergian putri kita, aku rindu kamu yang selalu menyiapkan pakaian kerjaku, rindu kamu yang selalu mengantarkan makan siang ke kantorku, rindu ceritamu tentang teman-teman arisanmu, rindu kamu, sayang. Aku ingin kamu yang dulu.”
***
Ia kembali menatap jarum jam dinding ruang kerjanya. Pukul 13.05 WIB. Ia tertunduk. Ia tak lagi melihat ke arah pintu karena ia tahu, tak akan ada Naya. Ia menggapai foto yang ada di meja kerjanya, di lihatnya ada gambar dirinya, Naya dan juga Akira disana. Ia tersenyum tipis. Memorinya merindu. Seketika terdengar pintu diketuk. Ia langsung tersentak dan menyuruh seseorang dari balik pintu untuk masuk.
Matanya membulat. Dilihatnya seorang wanita menjinjing rantang nasi di tangan kanan. Hardi menelan ludah. Wanita itu berjalan semakin dekat menghampirinya.
            Wanita itu tersenyum menatap Hardi, “Kau tak perlu lagi membeli makan siang di luar, dan ...tak usah repot mengganti kalenderku.” Bibir Hardi seketika kelu. Tubuhnya membeku.