RSS

Braile

Di sudut ruang perpustakaan tempat biasa ia menghabiskan siang, gadis kecil  itu menunduk, seperti tengah membaca, namun ia tidak tengah membaca. Ia hanya menunduk seolah-olah membaca lalu beberapa menit sekali membalikkan lembaran bukunya. Di lembaran kelima, ia tampak meneteskan air mata. Ia menangis. Jemari mungil di tangan kanannya terlihat tengah mengusap air mata yang membasahi pipi cubbynya. Wajahnya ia tegakkan, sorot mata gadis kecil itu terlihat kosong, kemudian ia mengerjapkan matanya. Buliran air itu jatuh beraturan membasahi wajahnya. Bibir bagian bawahnya ia gigit sedikit, sepertinya ia tengah menahan luka yang begitu menyakitkan.
            “Semua akan baik-baik saja, nak,” lelaki tua di samping kirinya pengusap pundaknya.Dalam diam lelaki itu menahan hatinya yang menjerit penuh ketidak terimaan dengan takdir yang menimpa gadis kecilnya.Mengapa harus gadis kecilnya?Mengapa bukan dirinya saja?
            “Tidak, ayah. Semuanya sudah tidak baik-baik saja. Bahkan aku dikeluarkan dari sekolah karena dirasa tidak akan mampu mengikuti proses pembelajaran," keluh Nina semakin larut dalam lukanya.
            “Ayah akan mencari sekolah yang dapat menerimamu, nak. Ayah janji.”Putrinya masih tertunduk diam, lelaki tua itu melanjutkan perkataannya, “Dan untuk kegemaranmu membaca buku, bagaimana kalau mulai saat ini, ayah yang akan membacakan isi bukunya untukmu?”Tawar lelaki tua tersebut berusaha tersenyum meski senyum yang diusahakan tersebut juga tak dapat dilihat oleh mata gadis kecil itu.
            “Ayah jamin, ayah akan mebaca semua buku yang kau inginkan tanpa meninggalkan satu hurufpun! Janji!”Seru lelaki tua itu lagi. Gadis kecil itu hanya diam, memandang kosong ke depan tanpa menatap ayahnya yang berada di kirinya.
            “Atau jika kau bosan, ayah akan memberitahu ringkasan isi bukuya saja, bagaimana? Ayah punya banyak waktu untuk itu, sayang!” Kali ini tawaran itu hadir sambil menahan tangis melihat gadis kecilnya yang hanya bergeming.
            “Sayang, ayah akan lakukan apapun, jadi jangan bersedih seperti ini, bukankah untuk tahu isi buku kau tak selamanya harus membacanya? Bisa mendengar dari orang lain juga, bukan?” Tanya ayahnya hati-hati.
            Kali ini, gadis kecil itu membuka mulutnya, dengan pelan berkata, “Ayah, aku gemar membaca, bukan mendengar.Bisakah kau mengerti itu?”
            Lelaki tua itu kemudian terdiam. Sejujurnya, ia paham benar tentang Nina, begitu panggilan gadis kecilnya yang baru saja menginjak usia 9 tahun tersebut. Nina gemar membaca mengikuti jejak almarhum ibunya, karena itu tiap pulang sekolah, ia selalu mengunjungi perpustakaan mini di dekat Balai Desa untuk dapat memenuhi kegemarannya membaca. Semua jenis buku yang ada di perpustakaan ia baca, baik buku cerita anak-anak, buku pembelajaran sekolahnya, Ensiklopedia, dan buku lainnya seputar dunia anak dan pendidikan. Namun, sebulan yang lalu, saat pulang jalan-jalan dari Kota, ia mengalami kecelakaan bersama ayahnya. Akibat kecelakaan itu ayah Nina mengalami patah kaki hinga harus dioperasi, sementara Nina... ia mengalami kebutaan permanen akibat jaringan syaraf pada matanya putus, sehingga sekalipun ia mendapat donor kornea, ia tetap saja tidak bisa melihat, hal itulah yang membuat ayah Nina frustasi. Ingin rasanya ayah Nina bertukar posisi dengan Nina, namun  semua kembali pada kuasa-Nya.
            “Ayah, kau masih disini, bukan?”Tanya Nina yang merasa kehilangan ayahnya kerana suasana berganti senyap.“Ayah, ibu pernah bilang, kalau buku adalah jendela dunia.Sekarang Nina tidak lagi bisa membaca buku, apakah artinya Nina tidak bisa lagi membuka jendela dunia itu, ayah?Ayah, jawab Nina,” lanjut gadis kecil itu.
            Sepasang bola mata yang telah menua itu meneteskan air, mengalir melewati garis wajah penunjuk usianya yang tak lagi muda.
            “Ahh, ayah, Nina bodoh! Untuk apa orang buta seperti Nina punya jendela? Toh kami juga tidak bisa melihat apa yang ada di balik jendela itu? Kami juga tidak bisa melihatnyakan, ayah?”
            “Siapa bilang Nina tidak punya jendela lagi?Siapa bilang orang buta tidak butuh jendela?Memangnya fungsi jendela hanya untuk melihat pemandangan diluar saja, sayang?Coba Nina bayangkan, jika Nina punya rumah tanpa jendela?Hayo, bagaimana?”
            Nina kemudian terdiam. Terbayang olehnya bila rumahnya tanpa jendela, maka rumah tersebut akan pengap tanpa cahaya matahari dan tidak ada pergantian udara segar. “Waduh, ayah, gawat!Nina bisa mati jika begitu, rumah jadi pengap dan Nina jadi sesak napas kan, ayah?” Tanya Nina.
            “Iya sayang, jadi orang butapun juga butuh jendela, bukan?”
            Nina berdehem.“Ayah, tapi bagaimana kalau orang buta punya jendela namun tidak mampu membukanya?Bukankah rumah berjendela tapi kalau jendelanya tidak dibuka akan pengap juga?”
            Ayah Nina kemudian tersenyum, “Membuka tidak harus dengan melihat, bisa dengan bantuan orang lain, atau dengan indra yang lainnya, karena itu manusia diberi indra tidak hanya satu,” Nina mengangguk-angguk. Ia mulai bisa menerima apa yang disampaikan ayahnya. Tapi tetap saja, satu hal yang ayahnya harus juga mengerti, bahwa ia gemar membaca, bukan mendengar.
            Ditengah perdebatan tersebut, bapak penjaga perpustakaan yang diam-diam mendengar percakapan ayah dan anak itu menghampiri keduanya, dengan senyum lembut bapak itu berkata kepada Nina, “Nak, pergilah ke perpustakaan di tengah kota, setahu bapak, disana menyediakan buku Braile khusus tunanetra, kamu dapat membaca buku disana.”
            “Bapak serius?”Matanya membulat dengan pandangan kosong kedepan.
            “Tentu, nak.”
            “Ayah!!Ayah, kita harus kesana, ayah maukan mengantarkan Nina kesana?Nina mau mencoba membaca buku itu ayah, ayah mau, kan?”Nina menarik-narik lengan ayahnya yang berada didekat tangannya.
            “Tentu, sayang. Tapi, kau harus mennunggu higga akhir pekan disaat ayah libur bekerja, tidak apa-apa kan, nak?” Nina mengangguk dengan senyum mengembang diwajahya.Ayah Nina ikut tersenyum gembira.
            “Terimakasih informasinya, pak,” Senyum ramah ayah Nina kepada bapak penjaga perpustakaan.
***
            Nina bertopang dagu, ternyata tak semudah itu ia dapat bertemu dengan buku Braile. Pihak perpustakaan menyampaikan kalau stock buku tersebut hanya tersedia dalam jumlah yang sangat minim, yaitu tujuh buku, dan empat buku tengah dalam masa peminjaman, sementara tiga lagi tengah dibaca oleh tiga orang tunanetra lain yang juga datang keperpustakaan siang itu.
            “Yang sabar ya, nak.Kita tunggu saja abang yang itu selesai membaca,” hibur ayah Nina menyemangati putrinya.
            Perkataan ayah nita terdengar oleh laki-laki tunanetra yang dimaksud ayah Nina.Laki-laki tersebut kemudian berbicara tanpa menoleh dengan pandangan lurus kedepan, “Pak, anaknya mau baca buku Braile ya? Yasudah, ini, silahkan, saya sudah selesai membacanya kok,” laki-laki itu terlihat begitu ramah. Ayah Nina tersenyum kemudian mengambil buku yang ada ditangan laki-laki tersebut sembari mengucapkan terimakasih.
            “Terimakasih ya, bang!” Nina berseru gembira, dengan semangat ia membuka bukunya dan mulai meraba tulisan-tulisan di dalam buku tersebut. Ia mencoba memahami huruf demi huruf dengan format Braile tersebut. Matanya berkilau.Ia mengerjapkan matanya kemudian tetesan air itu jatuh melesat dan langsung mendarat pada permukaan buku yang tengah diraba oleh jemarinya.Dadanya sesak. Ternyata membaca buku tanpa mata itu tak semudah yang ia pikirkan.     
            “Kau baik-baik saja?”Tanya ayah Nina yang sedari tadi mengkhawatikan putrinya.
            Ia kemudian meraba-raba mencari tahu keberadaan ayahnya, kemudian memeluk ayahnya dan berbisik pelan, “Aku tak mengerti, ayah,” bisikannya begitu pelan dengan suara serak bercampur tangis yang tertahankan.
            Suara pelan tersebut ternyata terdengar nyaring oleh telinga salah seorang tunanetra wanita yang tengah duduk di dekat Nina.Tunanetra wanita itu mengenakan jilbab ungu, usianya terlihat masih sekitar 21 tahun.
            “Kau baru saja megalami kebutaan, dik?”Tanya wanita tunanetra itu lembut.
            Nina mendengar pertanyaan itu dan menyadari pertanyaan itu pasti ditujukan untuknya.Ia kemudian mengangguk karena ia tidak menyadari bahwa wanita yang menanyainya juga merupakan penderita tunanetra.
            “Putriku baru saja mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia mengalami kebutaan permanen, bisakah kau mengajarinya membaca?Usianya baru 9 tahun, ia gemar sekali membaca,” jelas ayah Nina.
            Wanita tersebut tersenyum tanpa memandang ayah Nina.Ia kemudian berkata, “Tentu saja, pak. Sudah hampir 10 tahun hidup saya dalam gelap gulita, saya paham benar bagaimana menikmati hidup dalam kegelapan,” ujar wanita tersebut.Tidak terlihat penderitaan ataupun tekanan hidup yang begitu menghimpit bathin wanita itu.
            “Dik, jangan bersedih, kita masih bisa melihat dunia meski tanpa mata kok,” hibur wanita tersebut melanjutkan perkataannya. Wanita tunanetra itu kemudian mengulurkan tangannya, meskipun awalnyanya uluran tangannnya salah,  ulurantangannya dibenarkan oleh ayah Nina, “Aku Hani,”
            “Nina, kak,” jawab Nina membalas uluran tangan tersebut dengan bantuan bimbingan tangan ayahnya.Kemudian Hani mulai mengajari Nina membaca buku Braile.Tak hanya mengajari Nina, Hani yang ternyata merupan pendiri sebuah sekolah tunanetra mengajak Nina untuk berskolah di sekolahnya yang telah memiliki murid lebih dari 100orang tunanetra.Nina tentu sangat menyetujui ajakan tersebut, ayah Ninapun mendukung keinginan anaknya untuk bersekolah.
            Setiap akhir pekan Nina selalu diantarkan ayahnya ke Kota dan belajar di sekolah yang didirikan Hani.Dan sejak mengenal Hani, napas ayah Nina mulai dapat teratur karena melihat senyum gadis kecilnya tak lagi luntur. Ia bangga pada gadis kecilnya, terlebih saat gadis kecilnya berkata, “Ayah, nanti kalau Nina sudah besar, Nina ingin jadi pendiri sekolah tunanetra kayak kak Hani, dan memproduksi banyak buku Braile, agar seluruh tunanetra tak hanya memiliki jendela, namun bisa membuka jendela tersebut dan menatap dunia meski tanpa mata.”
            Impian polos Nina disambut pelukan hangat dari sangayah. Ayah Nina kemudian berbisik pelan di daun telinga Nina, “Amin, nak.Allah selalu menyertai impian mulia hamba-Nya.”

0 komentar:

Posting Komentar